Pages

Sabtu, Mei 31, 2008

Syeikh Syihabuddin al-Ramli, Sang Alim Nan Pendidik

Syeikh Shihabbuddin dilahirkan di Mesir pada masa kekuasaan Raja Al-Malik al-Dhohir Abi Sa'id. Ia terkenal dengan sebutan "al-Ramli", nisbat kepada desa Rimal, sebuah distrik di Kuwaisina, Manufiah. Ali Mubarak mengatakan bahwa Rimal merupakan kampung kecil, bagian dari Dimyat yang dekat dengan Maniah al-Athor ke arah masjid al-Hadhor.

Perjalanan ke Hijaz

Ketika berumur 16 tahun beliau pergi ke Hijaz dalam bagian rombongan yang pergi ke Madinah atas perintah Sultan al-Asraf Qoitbay untuk merenovasi bangunan Masjid Nabawi. Pada tahun 886 H terjadi petir besar yang menyambar Masjid Nabawi, sehingga terbakar menara yang berada di atas persemayaman Nabi. Atap masjidpun semuanya terbakar, begitu juga mimbar, tembok, tiang dan pintu. Hampir tidak ada yang selamat selain Qubah as-Syarifah. Tatkala Sultan Qoitbay mendengar kabar tersebut, menangislah beliau dan menangis pula orang-orang yang ada di sekitar beliau.

Rombongan yang dipimpin oleh Syamsudin Muhammad bin Zaman menyertakan beberapa tenaga bangunan, tukang kayu, tukang batu marmer dan lain-lain. Dalam cerita ini, belum jelas apakah Syekh Syihabudin termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, tukang kayu atau yang lainnya. Menurut sebagian riwayat beliau tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena dalam biografinya disebutkan bahwa beliau belajar di al-Azhar kemudian menghapalkan Al-quran, hadist, dan fiqih empat madzhab.

Imam Syaroni dalam Thabaqah-nya mengatakan : “Beliau adalah Imam yang shalih, penutup ahli tahqiq di Mesir, Hijaz dan Syam. Barangkali kepergiannya bersama utusan renovasi dan bangunan merupakan bentuk kesusahan beliau tatkala mendengar Masjid Nabawi terbakar. Beliau yakin bahwa ruangan al-Nabawiyah akan selamanya selamat tidak terkena malapetaka. Beliau tetap tinggal di Hijaz, tidak pulang bersama utusan pembaharu masjid, untuk menimba ilmu dan belajar fiqih pada ulama-ulama Hijaz.

Kembali ke Mesir

Setelah beberapa saat tinggal di Hijaz dan sebelum kembali ke Mesir beliau pergi ke Syam dan menetap beberapa waktu untuk belajar pada pemuka agama, ahli fatwa dan ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam pengetahuan beliau. Ketika kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qonshuh al-Ghouri, ketenarannya telah menyebar ke semua penjuru khususnya ulama-ulama fiqih madzhab Syafii. Hal ini merupakan sebab mengapa Sultan al-Ghouri menugaskan beliau mengajar di Madrasah al-Nasiriyah di Qorofah.

Madrasah Nasiriyah terletak di dekat Qubah Imam Syafii. Madrasah ini dibangun oleh Sultan Malik al-Nasir Sholahuddin al-Ayyubi dan dikhususkan untuk belajar fiqih madzhab Imam syafii. Sultan Malik juga menyediakan kepada para pengajar 40 dinar perbulan dan roti sebanyak 60 kantung perhari. Beliau juga menetapkan pengajar bantu dan para pelajar. Sultan Shalahuddin juga mewakafkan kamar mandi besar (Hammam) di sebelah madrasah, toko roti dan toko-toko di luarnya. Al-Maqrizi berkata: "Pengajaran di Madrasah al-Nasiriyah diurus oleh para pembesar, seperti Qadli al-Qudlat Taqiyuddin Muhammad bin Rozin al-Hamawi, juga Ibnu Daqiq al-Id, begitu juga Burhanudin al-Hadr al-Sanjari".

Keutamaan Syeikh Shihabuddin

Tentang biografi Syekh Shihabbuddin Imam Sya'roni bercerita : "Syekh Shihabbuddin merupakan orang yang wara', zuhud, alim, bagus keyakinannya, lebih-lebih di hadapan orang sufi. Beliau selalu menjawab melayani dengan santun perkataan mereka. Syekh Romli adalah imam dalam ilmu syara". Imam Sya'roni –sang sufi- merupakan murid yang paling beliau cintai. Dalam hal ini Syekh Sya'roni sendiri berkata : "Syekh Shihabuddin sangat mencintaiku sebagaimana kecintaan tuan pada sahayanya.

Tentang keutamaan Syekh Shihabbuddin dan keilmuannya Imam Sya'roni lebih jauh berkata : "Hampir seluruh ulama madzhab Syafi'i di Mesir adalah muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi'i kecuali dia adalah murid Syekh Shihabbuddin atau cucu murid. Semua permasalahan dari seluruh penjuru daerah dikembalikan pada beliau. Ketergantungan masyarakat pada petuah beliau melebihi ketergantungan mereka terhadap para gurunya.

Tidak diragukan lagi Syekh Shihabbuddin mempunyai posisi keilmuan yang tinggi pada masanya, yaitu tahun 8 H, sampai-sampai Syekh Zakaria al-Anshori memberi izin beliau untuk memperbaiki karangan-karangannya, baik semasa hidupnya atau sesudah mati. Ini adalah hal yang luar biasa sebab Syekh Zakaria tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini pada siapapun selain beliau. Syekh Shihabbuddin turut memperbaiki beberapa tema atau masalah dalam kitab Syarh al-Bahjah-nya Syekh Zakaria dan Syarh al-Roudl semasa hidupnya. Beliau juga mengarang beberapa kitab yang berharga seperti kitab Syarh al-Zubad dalam ilmu fiqih yang merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi pentarjihan, perdebatan, dan penyeleksian beliau yang telah diteliti oleh Syekh Nuruddin al- Tanuta'i, sebagaimana Syekh Syamsuddin al-Khotib mengumpulkan fatwa-fatwanya sehingga menjadi kitab yang besar dan berjilid-jilid.

Meskipun beliau telah mencapai pusat keilmuan, sastra, dan materi, namun beliau merupakan orang yang rendah hati. Disebutkan dalam Thabaqah al-Kubra; "Beliau melayani diri sendiri dan tidak memperkenankan seseorang membelikan kebutuhannya dari pasar sampai beliau berusia lanjut dan lemah fisik". Beliau juga termasuk orang yang sangat dihormati dari seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang jadzab, dan sufi seperti Syekh Nuruddin al-Musrifi, dan Syekh Ali al-Khowwash.

Syeikh al-Ramli sang pendidik

Berjibunnya ahli fikih, ulama, dan pelajar yang hampir tidak pernah meninggalkan beliau baik siang maupun malam, semua itu tidak membuat beliau lupa pada keluarga dan anak-anak. Beliau tetap memberikan pendidikan terbaik pada mereka. Tentang masalah tersebut murid kesayangannya, yaitu Syekh Sya'roni berkata: "Al-Alim al-'alamah al-Muhaqqiq Muhammad putera Syekh Shihabbuddin yang telah kukenal semenjak ada dalam gendonganku sampai sekarang (akhir abad 10H.), tidak pernah aku lihat kejelekan agamanya. Sejak kecil beliau tidak bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau hidup dalam cahaya agama, takwa, menjaga anggota tubuh dan kewibawaan. Orang tuanya mendidik dengan didikan yang terbaik”.

Lebih jauh Imam Sya'roni berkata : "Aku mengaji di hadapan orang tua beliau di Madrasah al-Nashiriyyah dan kutemukan sinar kebaikan dan taufiq pada beliau. Allah telah membuat orang-orang senang dan sayang pada beliau. Putra Syekh Shihabuddin ini juga menjadi rujukan warga Mesir dalam masalah penyeleksian fatwa. Ulama fiqih telah sepakat akan keilmuan, wara' dan kebaikan akhlaknya. Tidak henti-hentinya beliau memperoleh ilmu dari ayahnya sehingga tidak perlu mencari ilmu pada ulama lain. Kemudian beliau menyebarkan apa yang dimilikinya baik berupa fiqih, hadits, tafsir, nahwu, ma'ani, bayan, dan lainnya, sehingga beliau siap menjadi penerus ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau mengurusi pendidikan di Masjid Jami' al-Azhar. Ulama-ulama pun menerimanya dan tidak ada yang membantah kecuali orang- orang yang tidak tahu akan kapasitas beliau atau orang yang dipenuhi dengan rasa dengki dan iri hati.

Syeikh Shihabuddin wafat

Syekh ar-Ramli meninggal pada tahun 757H dan jenazahnya disalati pada hari Jum'at di Masjid al-Azhar. Imam Sya'roni berkata: "Aku tidak pernah melihat jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia sehingga masjid pun penuh oleh jama'ah yang melaksanakan shalat jum'at pada waktu itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka salat di tempat lain dan kembali untuk menghormati jenazah beliau.

Masjid Jami' al-Ramli

Masjid Jami' al-Ramli sekarang terletak di daerah Midan Bab al-Sya'riah, yang dulu terkenal dengan sebutan Bab al-Qantharah, karena di situ terdapat al-Qantharah (jembatan) di atas teluk Misri. Tentang hal tersebut Ali Mubarak berkata: "Masjid yang berada di medan al-Quthn ini dulunya rusak, di dalamnya terdapat makam al-Ramli dan puteranya. Disebabkan oleh Hasanain al-Rimali al-Khibas yang menisbatkan dirinya pada Syekh al-Ramli dan mengaku bahwa al-Ramli adalah kakeknya, maka direnovasilah mesjid tersebut. Beliau merenovasi dengan biaya sendiri pada tahun 1288H. Beliau juga merenovasi dua makam dan melaksanakan syiar-syiarnya.

Masjid tersebut sekarang berada dalam area persegi empat yang kira-kira panjangnya 12 m dan lebar 11m. Di tengahnya terdapat satu tiang untuk menyangga atap yang terbuat dari kayu. Pada tembok kiblatnya terdapat mihrab besar dan mimbar kuno yang di sampingnya terdapat ruangan sempit. Di dalamnya terdapat makam Muhammad al-Satuhi, pelayan masjid pada masa al-Ramli. Pada arah barat masjid terdapat ruangan persegi empat, yang di dalamnya terdapat mihrab dan tempat sholat ke arah makam Syekh al-Ramli dan Muhammad putra beliau.

Rabu, Mei 28, 2008

Imam al-Qusyairi, Maha Guru Sufi

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

An-Naisaburi

Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.

Al-Qusyairi.

Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.

  1. Al-Istiwaiy
    Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
  2. Asy-Syafi'y
    Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).
  3. Gelar Kehormatan
    Ia
    memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
    Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf

Nasab Ibundanya:

Beliau mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.

Kelahiran dan Wafatnya

Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.

Kehidupan Al-Qusyairi

Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit sahaja.. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.

Kepandaian Berkuda

Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

Perkahwinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 412 H./1014-1021 M.

Putera Puterinya

Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa'id Abdullah, 2) Abu Sa'id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy'ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun'im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As'ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa'id bin Abul Qasim al Qusyairy.

Menunaikan Haji

Maha Guru imam ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.

Belajar dan Mengajar

Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:

  1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
  2. Abu Abdurrahman - Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
  3. Abu Bakr - Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Maha Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
  4. Abu Bakr - Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
  5. Abu Ishaq - Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami' dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu'tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
  6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
  7. Abu Manshur - Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.

Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj'ar mazhab Syafi'y.

Disiplin Ilmu Keagamaan

  • Ushuluddin: Al Qusyairy belaj'ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy'ary.
  • Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi'y.
  • Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy'ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy'ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
    Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.

Forum Imla'

Maha Guru al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla' hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.

Forum Muzakarah

Maha Guru al Qusyairy juga sebagai pemuka forum-forum muzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. "Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya."
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi'iyah, karya Tajudddin as-Subky.

Murid-muridnya yang Terkenal

Abu Bakr - Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).
Abu Ibrahim - Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)
Abu Muhammad - Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
Abul Qasim - Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)
Abu Bakr - Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
Abu Muhammad - Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
Abu Muhammad - Abdullah bin Atha'al-Ibrahimy al-Harawy.
Abu Abdullah - Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
Abu Ali - al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
Abul Tath - Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.

Cubaan yang Mendatang

Ketika popularitinya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.

Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu'tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja', al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid-muridnya bertambah banyak.

Minggu, Mei 25, 2008

Syeikh Abu Hasan As-Syazili, Sang Sufi Dunia Timur dan Barat

Nama lengkap Syeikh Abu Hasan As-Syazili ialah as-Syadzili Ali bin Abdillah bin Abdul-Jabbar, yang kalau diteruskan nasabnya akan sampai pada Hasan bin Ali bin Abu Talib dan puteranya Fatimah al-Zahra', puteri Nabi s.a.w..

Syeikh Abu Hasan dilahirkan di Maroko tahun 593 H di desa yang bernama Ghimaroh di dekat kota Sabtah (dekat kota Thonjah sekarang).

Imam Syadzili dan kelimuan

Di kota kelahirannya itu Syadzili pertama kali menghafal Alquran dan menerima pelajaran ilmi-ilmu agama, termasuk mempelajari fikih madzhab Imam Malik. Beliau berhasil memperoleh ilmu yang bersumber pada Alquran dan Sunnah demikian juga ilmu yang bersumber dari akal yang jernih. Berkat ilmu yang dimilikinya, banyak para ulama yang berguru kepadanya. Sebagian mereka ada yang ingin menguji kepandaian Syekh Abu al-Hasan. Setelah diadakan dialog ilmiah akhirnya mereka mengakui bahwa beliau mempunyai ilmu yang luas, sehingga untuk menguras ilmunya seakan-akan merupakan hal yang cukup susah. Memang sebelum beliau menjalani ilmu thariqah, ia telah membekali dirinya dengan ilmu syariat yang memadahi.

Imam Syadzili dan Tariqah

Hijrah atau berkelana bisa jadi merupakan sarana paling efektif untuk menemukan jati diri. Tak terkecuali Imam Syadzili. Orang yang lebih dikenal sebagai sufi agung pendiri thariqah Syadziliyah ini juga menapaki masa hijrah dan berkelana.

Asal muasal beliau ingin mencari jalan thariqah adalah ketika masuk negara Tunis sufi besar ini ingin bertemu dengan para syekh yang ada di negeri itu. Di antara Syekh-syekh yang bisa membuat hatinya mantap dan berkenan adalah Syekh Abi Said al-Baji. Keistimewaan syekh ini adalah sebelum Abu al-Hasan berbicara mengutarakannya, dia telah mengetahui isi hatinya. Akhirnya Abu al-Hasan mantap bahwa dia adalah seorang wali. Selanjutnya dia berguru dan menimba ilmu darinya. Dari situ, mulailah Syekh Abu al-Hasan menekuni ilmu thariqah.

Beliau pernah berguru pada Syeikh Ibnu Basyisy dan kemudian mendirikan tarekat yang dikenal dengan Tariqat Syaziliyyah di Mesir.

Untuk menekuni tekad ini, beliau bertandang ke berbagai negara, baik negara kawasan timur maupun negara kawasan barat. Setiap derap langkahnya, hatinya selalu bertanya, "Di tempat mana aku bisa menjumpai seorang syekh (mursyid)?". Memang benar, seorang murid dalam langkahnya untuk sampai dekat kepada Allah itu bagaikan kapal yang mengarungi lautan luas. Apakah kapal tersebut bisa berjalan dengan baik tanpa seorang nahkoda (mursyid). Dan inilah yang dialami oleh syekh Abu al-Hasan.

Dalam pengembaraannya Imam Syadzili akhirnya sampai di Iraq, yaitu kawasan orang-orang sufi dan orang-orang shalih. Di Iraq beliau bertemu dengan Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi, yaitu syekh yang paling berkesan dalam hatinya dibandingkan dengan syekh di Iraq lainnya. Syekh Abu al-Fath berkata kepada Syekh Abu al-Hasan, "Hai Abu al-Hasan engkau ini mencari Wali Qutb di sini, padahal dia berada di negaramu? kembalilah, maka kamu akan menemukannya".

Akhirnya, beliau kembali lagi ke Maroko, dan bertemu dengan Syekh al-Shiddiq al-Qutb al-Ghauts Abi Muhammad Abdussalam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani. Syekh tersebut tinggal di puncak gunung.

Sebelum menemuinya, beliau membersihkan badan (mandi) di bawah gunung dan beliau datang laksana orang hina dina dan penuh dosa. Sebelum beliau naik gunung ternyata Syekh Abdussalam telah turun menemuinya dan berkata, "Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar……". Begitu sambutan syekh tersebut sembari menuturkan nasabnya sampai Rasulullah SAW. Kemudia dia berkata, "Kamu datang kepadaku laksana orang yang hina dina dan merasa tidak mempunyai amal baik, maka bersamaku kamu akan memperoleh kekayaan dunia dan akhirat”.

Akhirnya beliau tinggal bersamanya untuk beberapa hari, sampai hatinya mendapatkan pancaran ilahi. Selama bersama Syekh Abdussalam, beliau melihat beberapa keramat yang dimilikinya. Pertemuan antara Syekh Abdussalam dan Syekh Abu al-Hasan benar-benar merupakan pertemuan antara mursyid dan murid, atau antara muwarrits dan waarits. Banyak sekali futuhat ilahiyyah yang diperoleh Syekh Abu al-Hasan dari guru agung ini.

Di antara wasiat Syekh Abdussalam kepada Syadzili adalah, "Pertajam penglihatan keimanan, maka kamu akan menemukan Allah pada setiap sesuatu".

Tentang nama Syadzili

Kalau dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati sebuah nama yang memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut adalah nama yang dia peroleh dalam perjalanan ruhaniah.

Dalam hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : "Ketika saya duduk di hadapan Syekh, di dalam ruang kecil, di sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata, "Wahai, Abu al–Hasan, kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya Syekh tersenyum dan berkata, "Dia telah menjawab pertanyaanmu".

Selanjutnya Syekh Abdussalam memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili –padahal pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal dengan nama tersebut-.

Sebelum berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata, "Ingatlah Allah, bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat, kerjakanlah amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap Allah, maka kamu akan memperoleh derajat orang yang wara'. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan doa, "Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal 'awaaridhi min qibalihim wanajjinii min syarrihim wa aghninii bi khairika 'an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati min bainihim innaka 'alaa kulli syai'in qadiir".

Selanjutnya sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniah kali ini dia banyak mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan cobaan tersebut justru semakin menambah tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih.

Sesampainya di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan muridnya menuju gua yang berada di Gunung Za'faran untuk munajat dan beribadah kepada Allah SWT. Selama beribadah di tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki keramat dan tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan yang tinggi.

Pada akhir munajat-nya ada bisikan suara , "Wahai Abu al-Hasan turunlah dan bergaul-lah bersama orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu, kemudian beliau berkata: "Ya Allah, mengapa Engkau perintahkan aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu" kemudian dijawab: "Sudahlah, turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka" kemudian beliau berkata lagi: "Kalau aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka? Suara itu kembali menjawab : "Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizik dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.

Dalam dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili padahal dia bukan berasal dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: "Aku tidak mnyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu adalah syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan mencintaiku”.

Imam Syadzili menyebarkan Tariqah Syadziliyah

Dialog ilahiyah yang sarat makna dan misi ini membuatnya semakin mantap menapaki dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang dituju wali agung ini.
Di Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut banyak para ulama dan para sufi. Di antara mereka adalah karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.
Popularitas Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai terdengar di telinga Qadhi al-Jama'ah Abu al-Qasim bin Barra'. Namun aroma ini perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan kepada Sultan Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi.
Sultan meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan dan Qadhi Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa kemampuan Syekh Abu al-Hasan.
Banyak pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan di depan umum. Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi'I, dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru semakin semerbak memenuhi berbagai lapisan masyarakat.
Qadhi Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban as-Syadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin bertambah, kemudian dia berusaha membujuk Sultan dan berkata: "Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan menurunkanmu dari singgasana".
Ada pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari singgasana. Sultan demi mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama' fikih untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam istana.
Kabar penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya. Dengan penuh rasa prihatin si karib berkata, "Orang-orang membicarakanmu bahwa kamu telah melakukan ini dan itu". Sahabat tadi menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, "Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan adab syara' maka aku akan keluar dari sini –seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung terbelah, kemudian Syekh berkata kepadaku: "Ambilkan aku satu teko air, sajadah dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa hanya sehari saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan bertemu lagi".

Syeikh as-Syadzili tiba di Mesir

Tunis, kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu al-Hasan menuju negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar mencerminkan antara seorang mursyid dan murid.
Adapun sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, "Aku bermimpi bertemu baginda Nabi, beliau bersabda padaku : "Hai Ali… pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut kepadaku”.
Di Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Semasa di Mesir beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung ini. Di antara mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri, Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak di jalan Al-muiz li Dinillah.

Karamah Imam Syadzili

Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang tidak bisa terhitung nilainya.
Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan 'kutukan' ini saudara Sultan yang termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.
Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, "Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, "Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara , "Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama' dan para penguasa.
Suara itu berkata kepadaku, "Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama', maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu".
Di antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, "Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin (setiap huruf)".
Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata, "Bagaimana seorang Syekh menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud di dunia".
Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, "Pakaian kamu ini adalah pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu. Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan terjaga dari meminta-minta".
Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili seraya berkata, "Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh". Rupanya hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, "Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan khusnul khatimah".

Syeikh Syadzili Wafat

Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibdah haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa kapak minyak wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, "Di Jurang Humaistara (di propinsi Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal.

Senin, Mei 19, 2008

Tok Pulau Ubi, Dikagumi Kerana Kuat Ingatan

Sebelum merdeka, kebanyakan ulama dan tokoh agama sangat berpengaruh dalam pembentukan sosial masyarakat kerana mereka cukup disegani berikutan peribadi dan ilmunya.

Kelantan yang juga dikenali sebagai Serambi Makkah adalah antara negeri yang melahirkan ramai tokoh agama termasuk Tok Kenali, ulama tersohor yang dianggap antara tujuh wali Allah di Tanah Melayu.

Selain Tok Kenali, antara ulama besar di negeri Cik Siti Wan Kembang itu ialah Yusuf Abdul Rahman atau lebih dikenali sebagai Tok Pulau Ubi.

Yusuf dilahirkan pada zaman pemerintahan Sultan Muhammad II. Ketika itu, Kelantan dilanda bencana 'angin besar' yang menyebabkan negeri itu menjadi miskin kerana banyak ternakan dan tanaman musnah sehingga ada penduduk terpaksa memakan pucuk kelapa dan pinang untuk hidup, selain ada yang mati kebuluran.

Sebagai anak kesayangan, Yusof cukup bertuah kerana dihantar berguru di Pattani di bawah bimbingan Tuan Guru Abdul Malek dan bapa sepupunya, Abdul Latif Pattani yang turut membiayainya melanjutkan pengajian di Makkah selama 10 tahun.

Sekembalinya ke Sungai Pinang, beliau telah membuka sekolah pondok dalam kawasan rumah Datuk Menteri Che Hasan Muhammad Saleh, tidak jauh dari Pondok Tuan Guru Abdul Malek.

Setelah Mufti Wan Musa meletakkan jawatannya pada 1916, beliau ditawarkan jawatan Mufti Negeri Kelantan tetapi menolak tawaran itu. Jawatan itu diberi kepada Wan Muhammad, abang kepada Mufti Wan Musa.

Yusof kemudian berpindah dari Sungai Pinang ke Pulai Ubi, sebuah kawasan yang tidak berpenghuni, cuma dipenuhi rumput panjang dan semak samun.

Walaupun Yusof tinggal di Pulau Ubi, Datuk Menteri masih menghormatinya, bahkan memberikan sepucuk senapang untuk menjaga keselamatan diri dan kampungnya.
Beliau berhasrat memajukan kawasan itu dan niatnya berjaya kerana selepas itu, ramai yang datang membuka pondok pengajian di situ.

Suasana di situ digambarkan sebagai 'rumput yang panjang telah musnah oleh tangan manusia, kawasan yang lengang mula menjadi riuh rendah dengan suara manusia termasuk bacaan ayat suci al-Quran'. Begitulah Pulau Ubi digambarkan yang penuh dengan aktiviti mendalami ilmu. Pondoknya berkekalan hampir 50 buah sehingga Perang Dunia Kedua.

Anak murid Yusof datang dari pelusuk tempat termasuk Pattani dan beberapa negeri di luar Kelantan. Kemuncaknya ialah selepas seorang guru agama, Husain Mustafa Besut menjadi menantunya dan mereka berdua mengajar silih berganti.

Mengenai peribadinya, beliau dikenali sebagai seorang yang sangat kuat ingatannya. Apabila wujud kemusykilan, beliau memberi jawapan dengan menerangkan nama kitab dan muka suratnya sekali.

Hakikat itu diakui cucunya, Fadhil Abdul Hamid, 57, yang menjelaskan datuknya mempunyai suara nyaring, jika membaca al-Quran di Pulau Ubi, suaranya boleh didengari penduduk Telaga Lanas.

"Datuk saya seorang yang cukup tegas dalam mendidik anak, tidak menegur kesalahan dengan suara lantang untuk menasihati.

"Arwah bapa saya, Abdul Hamid pernah memberitahu bahawa datuk saya adalah seorang yang pendiam dan tidak suka bercakap perkara bukan-bukan, tetapi cukup mesra dengan cucunya.

"Setelah beliau meninggal dunia, bapa saya dan adiknya, Abdullah mewarisi ilmu agamanya, malah sekolah pondok yang dibukanya sebelum ini diambil alih bapa saya," katanya.

Ulama tersohor itu kini mempunyai 251 ahli keluarga merangkumi lima generasi.

Katanya, Yusuf sempat membina pusat pengajian pondok di Kampung Pulau Ubi, namun setelah Jepun menyerang Tanah Melayu pondok berkenaan dipindahkan ke Kampung Telaga Lanas.

Namun, jika berkunjung ke kampung itu, masih ada lagi tinggalan sejarah ulama ini, apabila madrasah yang dibina oleh tokoh agama berkenaan masih kekal hingga kini.

Malah, madrasah itu pada asalnya dibina di kampung kelahirannya di Sungai Pinang, kemudian dipindah ke kampung Pulau Ubi sebelum didirikan kembali di Telaga Lanas oleh Abdul Hamid.

Menyingkap sejarahnya, walaupun ramai guru agama lain sezaman di sekitar Pengkalan Kubor, beliau masih dihormati oleh guru itu kerana kematangannya dalam ilmu agama dan al-Quran.

Satu daripada kelebihannya ialah sebarang perbuatan maksiat tidak boleh dilakukan di kampungnya. Contoh, kalau dibawa ayam sabung, ayam sabung itu tidak dapat bersabung. Kalau bergendang di kawasannya, gendang akan pecah.

"Pernah berlaku kes, seorang pencuri memanjat pokok kelapa untuk mencuri buahnya, ketika turun dia ternampak ular besar di batang pokok dan sejak peristiwa itu, orang ramai segan, hormat dan takut untuk melakukan perbuatan yang menyalahi agama di kampung berkenaan," katanya.

Tok Pulai Ubi juga sangat gemar membaca al-Quran pada waktu malam, suka mentelaah kitab dan pada masa sama mengawal anak muridnya keluar daripada kawasan pondok pada waktu malam.

Petikan:

Ingatan Kuat Tok Pulau Ubi Dikagumi, Berita Minggu, 18 Mei 2008, ruangan Jejak.

Minggu, Mei 18, 2008

Tuan Guru Haji Yusoff, Menabur Bakti Dalam Pendidikan

Sempena Hari Guru kali ini, saya akan membawa sebuah biografi seorang ulama dan guru yang telah menyerahkan seluruh hidupnya dalam kebaktian pada pendidikan iaitu Tuan Guru Haji Yusoff.

Tuan Guru Haji Yusoff bin Haji Saad dilahirkan pada tahun 1918 di Kampung Relau, Bandar Baharu, Kulim Kedah. Namanya terkenal dan meniti di bibir masyarakat Seberang Perai Selatan dan utara Perak. Beliau telah diasuh dan dididik dengan penuh nilai keislaman serta kasih sayang oleh kedua ibu bapanya. Suasana itu menyebabkan beliau sangat disenangi oleh masyarakat kerana sikap lemah lembutnya tetapi tegas dalam perkara melibatkan akhlak anak-anak muridnya.

Pendidikan Awal

Beliau mendapat pendidikan awal di Madrasah Idrisiah, Bukit Chandan Kuala Kangsar, Perak iaitu sebuah madradah yang tidak asing lagi dimata masyarakat Islam di sebelah utara. Di situlah lahirnya ramai cerdik pandai dan agamawan yang ulung. Beliau memulakan pengajian bersama sahabat karibnya, Tuan Guru Ustaz Haji Ibrahim, yang juga sepupunnya. Setelah tamat pengajian beliau menyambung pengajian di Pondok Guar Chempedak, Yan Kedah yang ketika itu dipimpin oleh Tuan Guru Haji Abdullah Sanaf, seorang guru yang alim.

Setelah beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan pengajian ke Madrasah Daeratul Maarif Wataniah, Kepala Batas yang dipimpin oleh seorang ulama yang sangat disegani ramai, Tuan Guru Haji Abdullah Fahim. Beliau sempat mengutip mutiara-mutiara ilmu dari Abdullah Fahim. Kemudain beliau melanjutkan lagi pengajian ke Madarasah Manabiul Ulum Wamataliu’nujum yang ketika itu dipimpin oleh seorang ulama terkemuka bernama Syeikh Usman Jalaluddin al-Kalantani yang merupakan murid kepada Tok Kenali. Di sini kewibawaan beliau mula terserlah apabila beliau diamanahkan mengetuai usrah-usrah dan majlis muzakarah di madrasah tersebut.

Seterusnya beliau beriltizam untuk meneruskan pengajian ke gedung ilmu yang termasyhur iaitu Makkah. Hasrat beliau itu tercapai apabila tamat pengajian di Manbiul Ulum dan terus melanjutkan pengajian ke Makkah. Ketika di sana beliau sempat bersahabat dengan beberapa tokoh yang terkenal seperti Tuan Guru Abu Bakar Baqir, pejuang kemerdekaan dan juga pengasas Mahaad Ehya Syariff.

Mendirikan Rumah Tangga

Setekah selesai pengajian di Makkah, pada tahun 1953 beliau pulang dan bertemu jodoh dengan Hajah Kalsom Haji Putih adik perempuan kepada sahabat beliau Tuan Guru Haji Talib bin Haji Putih. Hasil perkongsian hidup dengan Hajah Kalsom,mereka dikurnaikan enam cahaya mata. Salah seorangnya ialah Ustaz Haji Abdul Aziz, yang kini memikul tanggungjawab sebagai mudir Madrasah Irshadiyah al-Asharaf al-Wataniah.

Membuka Madrasah

Pada tahun 1953, beliau telah melihat dan mengkaji perlunya masyarakat tempatan di sekitar daerah Seberang Perai khususnya Sungai Bakap kepada sebuah madrasah atau pusat pengajian yang berteraskan pondok. Oleh sebab itu, beliau telah memilih sebuah perkampungan Islam di Jalan Stesen, Sungai Bakap untuk mendirikan sebuah musolla dan seterusnya menjadi sebuah madrasah. Atas keprihatinan dan bantuan penduduk setempat akhirnya hasrat beliau itu tercapai. Madrasah tersebut dinamakan Madrasah Irsyad al-Ashraf al-Wataniah yang bermaksud Petunjuk dan Penggerak Anak-anak Bangsa.

Dengan tertubuhnya madrasah ini, maka ramailah anak murid yang dating untuk menuntut ilmu. Anak muridnya tidak terbatas sekadar di kawasan Sungai Bakap sahaja malah hingga ke daerah Kerian seperti Perit Buntar, Tanjung Piandang, Kuala Kurau, Bagan Serai dan kawasan sekitarnya.

Menyedari suasana pendidikan yang sentiasa berubah, maka beliau telah menerima cadangan yang dikemukakan oleh Tuan Guru Haji Abdul Halim anak saudaranya, untuk membahagikan pengajian kepada dua bahagian iaitu nizami dan umummi. Tuan Guru Haji Yusoff mengajar dan mentadbir bahagian umummi manakala Tuan Guru Haji Abdul Halim mengajar dan mentadbir bahagian nizami.

Tuan Guru Haji Yusoff mengajar dengan penuh rasa tanggungjawab demi memastikan anak-anak muridnya mendapat ilmu pengetahuan yang secukupnya. Oleh sebab itu beliau sangat bertegas dengan tatatertib dan disiplin diri seorang pelajar. Antara perkara yang dititik beratkan ialah, beliau tidak suka pelajar menyimpan rambut panjang dan membaca majalah-majalah yang tidak berfaedah.

Kembali ke Rahmatullah

Sudah menjadi sunnatullah, setiap yang hidup akan meninggal dunia. Begitulah juga dengan Tuan Guru Haji Yusoff. Beliau kembali ke rahmahtullah pada 1 Muharam 1399/20 Disember 1979. Pemergian beliau ini telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam kepada anak murid dan masyarakat setempat.

Tugas beliau akhirnya dipangku oleh anak saudaranya Tuan Guru Haji Abdul Halim. Jasa beliau tidak mungkin dapat dilupakan oleh masyarakat setempat kerana telah mewariskan sebuah institusi pendidikan yang sangat berjasa pada anak bangsa. Antara pesanan terakhir kepada anak murdnya ialah: “Aku mengajar supaya kamu boleh belajar”. Begitulah jasa dan sumbangan Tuan Guru Haji Yusoff pada masyarakat setempat. Semoga roh beliau sentiasa dicucuri rahmat oleh Allah SWT.