Jumat, Juli 24, 2009
Pengembaraan Rohani
mengembara merenangi lautan
mengembara mendaki pergunungan
mengembara melalui lorongan
mengembara melintasi kedurian
mengembara menjejaki warisan
mengembara menerima rintangan
mengembara menempuh dugaan
mengembara menghadapi cabaran
mengembara merasai keinsafan
mengembara membeli kehambaan
mengembara mengalir kerohanian
mengembara melazati kekhusyukan
mengembara menikmati kecintaan.
M.A.Uswah
Sandakan,
18 Ogos 2004.
Komik Tokoh Muslim Dunia Siri 1: Ibnu Sina
Penerbit: Gema Insani Press
Tahun: 2006
Jumlah halaman: 100 m/s
Ibnu Sina (980-1037 M) ialah seorang ilmuwan Muslim tersohor di bidang perubatan. Lahir di kota Bukhara, Uzbekistan tahun 980 M, Ibnu Sina lahir dalam lingkungan keluarga berada. Ayahnya adalah seorang gabernor yang ditugaskan di Bukhara.
Jumat, Juli 17, 2009
Sirah Insan Teladan
lahir sebagai anak yatim piatu
tetapi membesar dengan membawa rahmat.
Ketika beruzlah di Gua Hira'
datanglah malaikat Jibril membawa wahyu
mengajar Nabi menyebut Iqra’.
Menyebarkan Islam bermulalah sudah
di Makkah sedikit saja yang percaya
berhijrahlah Nabi dan sahabat ke Madinah.
Sampai di Madinah disambut dengan meriah
mulalah Nabi dan sahabat membina Masjid Quba
Ansar pula menghulurkan bantuan.
Bermulalah misi dakwah
bersaudaralah Muhajirin dan Ansar
saling bersatu padu berkasih sayang.
Dialah kekasih Allah
kehidupannya sederhana sekali
rela berkorban demi umatnya.
Akhlak mulia menjadi kebiasaan Nabi
dia mudah memaafkan, senyumnya memikat hati
berkasih sayang kepada semua makhluk.
Pemergian Nabi ditangisi
Umar terus menghunuskan pedangnya
Abu Bakar datang meredakan suasana.
Dialah insan teladan
meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah
supaya menjadi panduan kepada umatnya.
M.A.Uswah,
Sandakan,
25 Julai 2004.
Kamis, Juli 16, 2009
Rabu, Juli 15, 2009
Wafatnya Syeikh Ibnu Jibrin
Beliau akan disolatkan pada hari selasa, 21 Rejab 1430 H bersamaan 14 Julai 2009 Zohor waktu setempat di Masjid Jami’ al-Imam Turki Bin Abdullah (Masjid Besar) di Kota Riyadh. Serta akan dimakamkan di pemakaman al-‘Aud.
Beliau adalah seorang ulama dari kalangan ahlul 'ilm, ulama ahlus sunnah yang buku-bukunya sering menjadi rujukan para umat Islam diseluruh dunia.
Semoga Allah Taala melimpahkan rahmat kepadanya, membalasnya dengan sebaik-baik balasan atas jasa dan kebaikan beliau kepada kaum muslimin, dan semoga Allah mengumpulkannya bersama para malaikat di dalam Syurga Firdaus. Sesungguhnya Dia (Allah) Wali atas hal itu dan Dia Maha Kuasa atasnya.
Profil Syeikh Ibnu JibrinNama dan silsilah keturunan
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ibrahim bin Fahd bin Hamd bin Jibrin. Silsilahnya bersambung sampai ke kabilah Bani Zaid.
Kelahiran
Lahir tahun 1349 H. di desa Muhairaqa, Qowaiea. Terletak sekitar 180 km dari ibu kota Riyadh.
Pendidikan
Setefah usianya genap satu tahun, mereka pindah ke Rayan. Di kota kecil itu orang tuanya memasukkannya sekolah tahun 1358 H. Mulailah beliau belajar membaca dan menulis sampai tahun 1364 H. Setelah itu beliau mulai menghafal al-Quran. Sebagian al-Quran berhasil beliau hafal khususnya bagian sepertiga terakhir dan sisanya beliau belajar dengan ayahnya Syaikh Abdurrahman sambil menghapal hadits nabawi yang empat puluh termasuk mempelajarinya sebagai ilmu¬ilmu dasar. Pada tahun 1467 H, beliau mengajukan permohonan belajar kepada Syaikh Abdul Aziz Sythry -rahimahullah- agar bisa ikut belajar '(menjadi muridnya), akan tapi sang Syaikh tidak mau menerima murid, jika murid tersebut belum hafal al-Quran 30 juz. Akhirnya Syaikh Jibrin berusaha berkonsentrasi menghafal al-Quran hingga menghafalnya dengan betul, dan hafalannya selesai tepat pada penghujung tahun.
Setelah itu barulah beliau belajar dengan Syaikh Sythry dengan jadwal setiap sehabis sholat Subuh, dilanjutkan lagi di waktu duha (pagi), kemudian satu jam setelah sholat Ashar dan setelah sholat Maghrib hingga masuk waktu sholat Isya.
Buku-buku yang dipelajarinya pun bervariasi; mulai dari buku-buku ringkas seperti: Zaadul Mustaqniq, `Umdatul Kalam, al-Arba'in an-Nabawiyah, Kitabut Tauhid, Tsalatsatu Ushul, Syuruth as-Shalah, Adabul Masyi ila as-Shalah, AI Ilqidah al-Wasithiyah dan al-Hamawiyah. Untuk pelajaran Nahwu dan Shorof, beliau mempelajari buku Matan AI Ujrumiyah. Dalam hal pelajaran Faraid, beliau mempelajari buku ar-Rahabiyah. Begitu juga beliau belajar pakai buku-buku syarah besar, seperti buku: Subulus Salam, Syarh a!-Arba'in an-Nabawiyah karangan Ibnu Rajab, buku Tarikh karangan Ibnu Katsir berikut dengan kitab Tafsirnya, Tarsir Ibnu Jarir at-Thabari, Syarh Masa'il al-Jahiliyah karangan Mahmud al-Alusi al-Iraqi, buku tafsir an-Naisaburi yang berjudul Gharaib al-Quran, dan masih banyak lagi buku-buku syarah dan karangan-karangan ulama baik itu yang masih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak. Selama masa belajar, beliau tidak henti-hentinya mengulang hafalan al-Quran. Setelah ayahnya wafat, beliau sholat Jum'at dan berjamaah di Mesjid Raya.
Belajar ke luar daerah:
Beliau menamatkan studi di Ma'had Imam Dakwah, Riyadh tahun 1381 H. Setelah itu beliau diterima menjadi tenaga pengajar di sekolah yang sama. Beliau bekerja sebagai tenaga pengajar hingga berikutnya beliau diminta pindah ke Universitas Imam Muhammad bin Sa'ud Islamiyah menjadi dosen di Fakultas Syariah dan Ushuluddin tahun 1395 H. yaitu sebelum dua kuliah tersebut dipisah menjadi dua. Beliau masuk sebagai staf akademik fakultas tersebut dan selama aktif di sana telah banyak membimbing disertasi Magister.
Pada tahun 1402 H, ditetapkan sebagai anggota komisi fatwa di Dewan Riset Ilmiah dan Fatwa, dekat dengan gurunya Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah. Pengabdiannya di dewan tersebut merupakan akhir karimya dan setelah itu ia memasuki masa pensiun di bulan Rajab 1418 H. Semoga Allah senantiasa menjaganya. Syaikh Jibrin meraih gelar Magister dari Perguruan Tinggi Kehakiman tahun 1390 H. dengan judul disertasi "Akhbar al-Aahad fi al-Hadits an-Nabawi" dengan yudisium cumlaud. Gelar doktornya diraih dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 1407 H. mentahqiq (investigasi) terhadap buku "Syarah az-Zarkasy 'ala Mukhtashar al-Khuraqi" dengan yudisium cumlaud level pertama. Dalam disertasi itu ia bertugas mentaqhiq dan mentakhrij (foot¬note) hadits sebanyak 7 jilid buku dan buku-buku itu sekarang dicetak dan beredar di toko-toko buku.
Kegiatan harian
Jadwal kegiatan harian Syaikh dimulai dari setelah shalat Subuh memberikan ceramah di salah satu masjid sampai matahari terbit, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat. Setelah istirahat, berangkat ke kantor Dewan Riset Ilmiah dan Fatwa. Di kantor, beliau menjawab pelbagai pertanyaan tentang masalah keagamaan.
Meskipun penanya-penanya itu ramai setiap hari, beliau tidak pernah jenuh. Beliau siap membantu siapapun yang membutuhkan bantuan, dan meringankan beban siapapun yang memerlukan. Beliau bersedia mengangkat dering telepon penanya. Pesawat teleponnya tidak pernah berhenti berdering. Demikianlah kesibukannya sehari-hari. Kerap kali beliau orang yang paling terakhir pulang dari kantor Fatwa, bahkan beliau sendiri yang mematikan lampu-lampu. Setelah shalat Ashar rumahnya terbuka untuk umum, juga beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang masalah agama. Kalau perlu, beliau memberikan orientasi, atau memberikan rekomendasi bagi siapa saja yang membutuhkan, sampai masuk waktu Maghrib. Kemudian, beliau berangkat ke salah satu masjid di kota Riyad untuk mengisi jadwal pengajian mingguan, mengingat jumlah jadwal pengajiannya dalam seminggu sampai sebelas kali. Setelah shalat Isya berangkat lagi ke masjid lain, kadang mengisi pengajian, atau seminar dan lain-lain. Demikianlah jadwal harian Syaikh yang sarat dengan muatan dakwah kepada Allah sepanjang pekan. Semoga martabatnya ditinggikan Allah di sisi-Nya.
Keistimewaan Syeikh
Syeikh dikenal sebagai orang yang tawadhu (rendah hati). Beliau sedikit bicara dan tidak akan bicara, kalau tidak karena menjawab pertanyaan. Kalau ulama lain berseberangan pendapat dengannya mengenai suatu hukum atau fatwa syariah, dengan tawadhu beliau mengatakan, "Mereka adalah ulama dan kita mesti menghormatinya." Dalam hal menanggapi pendapat ulama lain, beliau tidak mau mendebat dengan cara yang kasar dan radikal.
Apabila Syaikh Jibrin diundang mengisi pengajian atau ceramah agama di daerah manapun, beliau tidak pernah menolak, selama dirinya tidak terikat dengan jadwal atau janji pada pihak lain. Syaikh Jibrin senantiasa berbaik sangka dan tidak pernah merasa iri terhadap siapapun dari kaum ahli sunnah wal jamaah, -sepengetahuan saya dan hanya Allahlah yang lebih tahu- beliau selalu tawadhu dalam segala hal.
Orang-orang yang mengenalnya pasti menyukainya karena kelapangan hatinya. Tidak mau menolak pelajar atau mahasiswa, atau orang-orang yang minta bantuan. Beliau penuhi permintaan mereka sendirian. Segenap waktunya adalah pengabdian kepada Allah dan agama. Hidupnya dipenuhi dengan kalimat-kalimat Allah atau dengan sabda-sabda Rasulullah saw.
Menurut hemat saya - wallahu'alam- martabat dan ketinggian yang ada padanya, dikarenakan ketawadhuannya, mengingat hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Turmudzi dan Imam Ahmad, "Barangsiapa yang bersikap tawadhu', Allah pasti akan mengangkat martabatnya." Apalagi bagi seorang yang diberi ilmu pengetahuan, wara' dan tawadhu'. Semoga Allah mengampuni kita semua, kita dapat meraih surga dan terhindar dari siksa neraka. Washallahu wa sallam `ala Muhammad wa alihi wa shahbihi.
Buku-buku karangan
1. Syarh az-Zarkasyi 'Ala Mukhtashar al-Khurafi; Dirasah wa Tahqiq.
2. Akhbar al-Ahad fi Hadits an-Nabawi.
3. At-Ta'liqaat Ala Matn Lam'ah al-1'tiqad.
4. Fadhlllmi wa Wujub at-Ta'allum.
5. AhammiyahAl `flmi wa MakanatuAl `Ulama'.
6. Majmu' Fatawa wa Rasa'il as-Syaikh Abdullah al-Jibrin.
7. AI-Mufid fii TaqribAhkam al-Musafir (173 hukum).
8. AI-Mufid fii TaqribAhkam al-Adzaan (123 hukum).
9. Al `llam bi Kufri Man Ibtagha Ghairu al-Islam.
10. As-Siraj al-Wahhaj Lil Mu'tamir wal Hajj.
11. As-Shiyam: Adab waAhkam.
12. Khawathir Ramadhaniyah.
13. Fatawa Adz-Dzakah.
14. AI-Islam baina al-GF.alw wa al-Jafa' wa al-Ifrath wa Tafrith.
15. Fitan Hadza az-Zaman.
16. AI-Wala' wa al-Barra'.
17. Haqiqatullltizam.
18. AI-Adab wa al-Akhlaq asy-Syar'iah.
19. Fatawa waAhkam fi Nabiyullah Isa 'Alaihis Salam.
20. Syarh AI 'Aqidah al-Wasatiyah.
21. Syarh Kitab at-Tauhid.
22. Fawaid min Syarh Kitab Manar as-Sabil.
23. Fawaid min Syarh Kitab at-Tauhid.
24. AI-Amanah.
25. AI-Hajj: Manafi'uhu waAtsaruhu.
26. As-Salaf Ash-Shalih baina al-Ilmu wa al-Iman.
27. AI-Bida' wa al-Muhadditsat fi AI-Aqaid waAl-A'mal.
28. Muharramat Mutamakkinah fi Al Ummah.
29. AI-Jawab al-Faiq fi ar-Radd Ala Mubdil al-Haqaiq.
30. Asy-Syahadatan Ma'nahuma wa Ma Tastalzimuhu Kullu minhuma.
31. Syarh Kitab Minhaju as-Salikin.
Innalillah wa inna ilaihi roji'un
Innalillah wa inna ilaihi roji'un
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”. (Shahih Al-Bukhari, Kitaabul- ‘Ilmi, Baab Kaifa Yaqbidlul-‘Ilm (1/194 – bersama Fathul-Bariy), dan Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli wal-Fitan (16/223-224 – bersama Syarh An-Nawawiy).
Sumber:
http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatakhbar&id=876
Jumat, Juli 10, 2009
Di Atas Sajadah Cinta
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)
***
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
===============================================================
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid
===============================================================
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
Dipetik dari:Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy
Sinetron Di Atas Sajadah Cinta - Zahid Sang Guru
Sebuah sinetron yang diadaptasi dari novel Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburahman El-Shirazy. Ini merupakan episod pertama. Dilakonkan oleh Teuku Ryan dan Cindy Fatikasari.
Senin, Juli 06, 2009
Minggu, Juli 05, 2009
Ibnu Taimiyah, Da'i dan Penghidup Sunnah
Beliau adalah imam, qudwah, alim, zahid dan da'i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran mahupun jihadnya, syeikhul Islam, mufti Anam, pembela dinullah daan penghidup sunnah Rasul s.a.w. yang telah dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arab yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Isnin 10 Rabiulawal 661H.
Beliau berhijrah ke Damsyi bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta`ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur`an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu`jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu`alaihi wa sallam.
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.
PUJIAN ULAMA
Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan beliau.
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.
Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?
Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia . Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-`Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma`ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta`dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya . Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
DA`I, MUJAHID, PEMBASMI BID`AH DAN PEMUSNAH MUSUH
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da`i yang tabah, liat, wara`, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: "tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lariâ" Akhirnya dengan izin Allah Ta`ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
KEHIDUPAN PENJARA
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal`ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara:
Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid`ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari`at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid`ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.
WAFATNYA
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-`Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur`an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur`an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara`, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Seorang saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau wafat pada tanggal 20 Zulhijjah 728 H dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, da`i, mujahidd, pembasmi bid`ah dan pemusnah musuh. Wallahua`lam.
Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ilmu Tasauf
Sikap Ibnu Taimiyah tentang tasauf adalah di jalan pertengahan antara ekstrim yang menerima secara keseluruhan dan ekstrim yang menolak secara keseluruhan. Beliau berkata:
Sekumpulan orang menerima (secara keseluruhan) baik yang benar tentang tasawwuf mahupun yang salah tentang tasawwuf manakala sekumpulan lagi mengingkari (secara keseluruhan) baik yang benar tentang tasawwuf mahupun yang salah tentang tasawwuf. Ini sebagaimana segolongan ahli kalam dan ahli fiqh. Sikap yang benar adalah, sesungguhnya sesuatu itu diterima – sama ada berkenaan tasawwuf atau selainnya – hanya apabila ia selari dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan sesuatu itu diingkari – sama ada berkenaan tasawwuf atau selainnya – apabila ia berselisihan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Di tempat yang lain Ibn Taimiyah berkata:
Dalam tasawwuf wujud orang yang benar dan orang yang silap sebagaimana yang ditemui pada orang-orang selain mereka (dalam bidang yang lain). Tidaklah pada perkara yang sedemikian menandingi para sahabat dan tabi‘in (kerana) tidak ada seorang jua yang maksum dalam setiap perkataannya (pendapatnya) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maksud Ibn Taimiyyah, kesilapan-kesilapan yang wujud di kalangan sebahagian ahli tasawwuf tidaklah lebih berat atau lebih ringan daripada kesilapan generasi sahabat dan tabi‘in kerana semua manusia sedikit atau banyak pasti berbuat silap kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibn Taimiyyah memperjelaskan lagi hal ini di tempat yang lain:
Penelitian ke atas persoalan ini mendapati bahawa (ilmu tasawwuf) mengandungi sesuatu yang terpuji dan yang tercela sebagaimana juga jalan (ilmu) yang lain. Yang tercela daripada ilmu tasawwuf adakalanya bersifat ijtihad dan adakalanya tidak. Kedudukan para ahli tasawwuf dalam perkara ini adalah sebagaimana kedudukan para ahli fiqh dalam mengeluarkan pendapat. Pendapat para ahli fiqh adakalanya turut tercela, apatah lagi pendapat ahli ibadah dan golongan orang ramai.
[2] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Ahli Tasawwuf.
Ibn Tamiyyah ialah seorang tokoh yang amat menghormati dan menyanjung tinggi tokoh-tokoh tasawwuf. Selagi mana mereka berada pada jalan al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih berdasarkan pemahaman generasi al-Salaf al-Shalih, Ibn Taimiyyah akan menyebut nama mereka dengan penuh kehormatan, pujian dan sanjungan. Antara bukti yang paling jelas ialah kata-kata Ibn Taimiyyah berikut ini:
……bahawasanya mereka adalah para syaikh umat Islam dan para imam pemberi petunjuk yang dijadikan Allah Ta‘ala di lisan mereka kebenaran untuk ummah, (mereka itu ialah) seperti Sa‘id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Malik bin Anas, al-Awza‘ie, Ibrahim bin Adham (160H), Sufyan al-Tsauri, al-Fadhil bin ‘Iyadh (187H), Ma‘aruf al-Karkhi (200H), al-Syafi‘ie, Abi Sulaiman (al-Darani) (215H), Ahmad bin Hanbal, Bisyr al-Hafi (227H), ‘Abd Allah bin al-Mubarak, Syaqiq al-Balkhie (194H) dan banyak lagi yang tidak dapat diperkira.
Contoh mereka yang terkemudian ialah al-Junaid bin Muhammad al-Qawarairi (297H), Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari (283H), ‘Umar bin ‘Utsman al-Makki (291H) dan orang-orang sesudah mereka sehinggalah kepada Abi Thalib al-Makki (386H), sehingga seumpama ‘Abd al-Qadir al-Kailani (561H)…………
Adapun pandangan Ibn Taimiyyah tentang para tokoh tasawwuf yang lain, ia adalah pandangan yang berada di pertengahan antara memberi pujian dan kritikan. Antaranya beliau menulis:
Yang benar adalah, bahawasanya mereka (ahli tasawwuf) ialah orang yang bersungguh-sungguh (مجتهدون) dalam ketaatan kepada Allah sebagaimana juga kesungguhan orang selain mereka daripada kalangan yang taat kepada Allah. Maka di kalangan mereka terdapat orang yang terkehadapan (السابق) dalam menghampirkan diri (kepada Allah) sesuai dengan ijtihadnya dan di kalangan mereka terdapat juga orang yang cermat (المقتصد), yakni mereka yang daripada ahli kebaikan (أهل اليمين). Apapun, pada setiap golongan orang yang bersungguh-sungguh, kadang-kala dia tersilap. Maka di kalangan mereka ada yang berdosa lalu (di antara mereka) ada yang bertaubat atau tidak bertaubat.
Dan di antara yang menyandarkan diri kepada para ahli tasawwuf adalah orang yang zalim kepada dirinya sendiri lagi berbuat dosa terhadap tuhannya. Bahkan adakalanya yang menyandarkan diri para ahli tasawwuf adalah daripada kelompok ahli bid‘ah dan zindik. Namun di sisi para peneliti ahli tasawwuf, orang-orang seperti ini bukanlah daripada mereka.
Seperti al-Hallaj (309H) misalnya, kerana sesungguhnya ramai syaikh tasawwuf yang mengingkari dan mengeluarkannya daripada tarikat sufisme. Contohnya ialah al-Junaid bin Muhammad, penghulu tarikat sufisme (سيد الطائفة) dan orang selainnya. Ini sebagaimana yang disebut oleh al-Syaikh Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami di dalam kitabnya Thabaqat al-Shufiyyah dan al-Hafiz Abu Bakar al-Khatib di dalam kitabnya Tarikh Baghdad.
Sikap pertengahan Ibn Taimiyyah juga menyebabkan dia menganggap yang paling utama ialah orang yang bertaqwa kepada Allah tanpa mengira sama ada orang tersebut cenderung kepada aliran tasawwuf atau selain tasawwuf. Apabila membahas pertanyaan tentang pembahagian kaum sufi kepada al-Fuqara’ (orang-orang yang fakir) dan sebagainya, beliau merumuskan:
Kesimpulannya, bahawa yang paling afdal di antara keduanya (ahli sufi dan fuqara’) adalah yang paling bertaqwa di antara keduanya. Maka jika seorang sufi bertaqwa kepada Allah maka dialah yang lebih afdal daripada seorang faqir, di mana dia (dengan sifat taqwa tersebut) melakukan amal yang disukai oleh Allah dan meninggalkan apa yang tidak disukai oleh-Nya. Maka dialah yang lebih afdal daripada orang faqir.
Dan jika orang faqir melakukan amalan yang disukai oleh Allah dan meninggalkan apa yang tidak disukai oleh-Nya, maka dialah yang lebih afdal daripada seorang sufi. Dan jika kedua-duanya (sufi dan faqir) bersamaan dalam melakukan amalan yang disukai (oleh Allah) dan meninggalkan selain daripada yang disukai (oleh Allah) maka darjat (keafdalan) kedua-duanya adalah sama.
(Ini kerana) para wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertaqwa tanpa mengira apakah dia seorang faqir, ahli sufi, ahli fiqh, ahli ilmu, ahli perniagaan, tentera, ushawan (صانعا), pemimpin, hakim atau selainnya. Allah Ta‘ala berfirman:
أَلاَ إنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ.
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita. (Wali-wali Allah itu ialah) orang-orang yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. [Yunus 10:62-63]
[3] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Kitab-Kitab Tasawwuf
Termasuk sikap pertengahan Ibn Taimiyyah ialah ke atas kitab-kitab karangan para tokoh tasawwuf. Beliau tidak mengkritik atau menolaknya habis-habisan, sebaliknya mengakui di dalamnya terdapat kebenaran dan kesilapan, kelebihan dan kekurangan. Beliau berkata:
Di dalam penulisan (kitab-kitab) zuhud dan tasawwuf terdapat perkara-perkara yang juga terdapat di dalam penulisan (kitab) fiqh dan pemikiran (الرأي), kedua-duanya mengandungi riwayat-riwayat yang sahih, lemah bahkan palsu. (Ia juga mengandungi) pendapat-pendapat yang benar, lemah bahkan batil. Adapun penulisan ilmu kalam, maka di dalamnya terdapat kebatilan yang amat berat (الباطل أعظم) dengan jumlah yang banyak, bahkan di dalamnya juga terdapat perbahasan-perbahasan yang bersifat zindik dan munafik.
Jika sekalipun wujud riwayat-riwayat yang sangat lemah dan palsu, itu bukanlah atas kesengajaan pengarangnya. Setiap pengarang adalah manusia yang pasti adakalanya tersilap tanpa mengira sama ada dia ahli tasawwuf, ahli tafsir atau ahli hadis. Ibn Taimiyyah menjelaskan hakikat ini:
Wujud di dalam kitab-kitab tasawwuf dan yang bercorak melembutkan hati (الرقائق) riwayat-riwayat yang sebahagiannya sahih, sebahagiannya lemah dan sebahagiannya palsu. Dalam hal ini bersepakat seluruh umat Islam bahawa tidak akan terlepas daripada kitab-kitab (karangan para tokoh) riwayat-riwayat yang seumpama (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Hal ini dapat diperhatikan dalam kitab-kitab yang ditulis dalam subjek tafsir al-Qur’an. Bahkan bagi ahli hadis yang paling dekat (paling arif) dengan ilmu periwayatan, dalam kitab mereka wujud riwayat-riwayat yang seumpama (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Maka bagaimana pula dengan para tokoh yang bukan ahli hadis?
Para pengarang yang terdiri daripada para imam sama ada dalam bidang fiqh, tasawwuf atau hadis, sekali sekala mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak mereka ketahui bahawa ia adalah dusta (riwayat palsu). Ini adalah satu kelaziman bagi para agamawan yang jika mereka mengetahui ia adalah riwayat dusta, pasti mereka tidak akan berhujah dengannya.
[4] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Adab Guru dan Murid.
Antara disiplin yang penting di dalam ilmu tasawwuf ialah adab antara guru dan murid. Guru dianggap sebagai jalan atau medium yang dapat menyampaikan seorang murid kepada ketaatan dan keredhaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Ibn Taimiyyah mengiktiraf kepentingan adab antara guru dan murid. Akan tetapi beliau tidak bersetuju dengan sikap membataskan penuntutan kepada seorang guru sahaja. Beliau juga menekankan bahawa guru yang sebenar ialah mereka yang beriman, bertaqwa lagi arif dalam mengunggulkan al-Qur’an dan al-Sunnah di atas segala yang lain. Beliau berkata:
Adapun tindakan sekelompok orang yang hanya menyandarkan dirinya kepada seorang syaikh tertentu, maka sememangnya tidak diragui bahawa manusia memerlukan siapa sahaja yang mereka dapat ambil (belajar) darinya (tentang) iman dan al-Qur’an. Ini sebagaimana yang diperoleh oleh para sahabat daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang diperoleh oleh para tabi‘in daripada mereka (para sahabat) sehingga yang sedemikian menghasilkan para pengikut generasi awal yang terbaik.
Justeru sebagaimana seseorang itu boleh belajar daripada sesiapa sahaja yang ahli dalam ilmu al-Qur’an dan yang seumpama maka demikian juga dia boleh belajar daripada sesiapa sahaja yang ahli dalam ilmu agama, baik yang lahir mahupun batin. Dan janganlah dibatasi proses pembelajaran kepada seorang syaikh tertentu sahaja kerana seseorang itu tidak memiliki hujah pada yang sedemikian untuk menyandarkan dirinya kepada syaikh tertentu sahaja.
Setiap orang yang dapat memberi manfaat yang tidak lain daripada manfaat agama, maka dialah syaikhnya dalam kemanfaatan tersebut. Bahkan setiap yang telah meninggal dunia namun perkataannya, perbuatannya dan pengaruhnya yang bermanfaat dalam agama sampai kepada manusia (yang masih hidup), maka dari sudut ini dia (manusia yang telah meninggal itu) adalah juga syaikh (bagi yang masih hidup). Maka atas dasar ini generasi salaf umat ini adalah syaikh kepada penggantinya, generasi sesudah generasi.
Oleh itu tidaklah boleh seseorang itu menyandarkan dirinya kepada seorang syaikh dengan memberi janji taat setia sebagai pengikutnya dan membataskan dirinya pada yang sedemikian. Akan tetapi kewajipannya ialah memberi janji taat setia kepada setiap orang yang beriman lagi arif dan bertaqwa, kesemuanya sekali tanpa mengira sama ada dia daripada kalangan para syaikh atau bukan. Tidak boleh mengkhususkan janji taat setia kepada seseorang melainkan padanya jelas kelihatan keimanan dan ketaqwaan (yang tinggi). Hendaklah didahulukan sesiapa yang mendahulukan Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya dan hendaklah diutamakan sesiapa yang mengutamakan Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah Ta‘ala:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam Pengetahuan-Nya. [al-Hujerat 49:13]
Di tempat yang lain beliau menyambung:
Apabila para syaikh, para pemerintah dan selain mereka memerintahkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka taatlah perintah mereka. Akan tetapi jika mereka memerintahkan apa yang sebaliknya maka janganlah mentaati mereka kerana sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Tidak ada seorang jua (daripada para syaikh, para pemerintah dan selain mereka) yang maksum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketentuan ini berlaku sekalipun ke atas seorang syaikh yang jelas terkenal dengan keagamaan dan keilmuannya.
Adapun orang yang mencipta bid‘ah yang nyata dan membuat kejahatan yang nyata, maka hendaklah diingkari bid‘ahnya dan kejahatannya serta jangan ditaati perintahnya berhubung dengan bid‘ah dan kejahatan tersebut. Akan tetapi jika dia atau orang selainnya memerintahkan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini kerana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib terhadap setiap individu dalam setiap keadaan tanpa mengira siapa yang memerintah dengan perintah tersebut.
Sumber:
http://www.salafyoon.net/sirah/ibnu-taimiyah.html
http://hafizfirdaus.com/ebook/Risalah-6/tajuk1.htm
Rabu, Juli 01, 2009
Ulama-Ulama Jordan Yang Masih Hidup Kini
1. Dr Solah Abdul Fattah Al-Khalidi. Beliau pakar dalam bidang Tafsir, Sirah dan Ulum Quran. Kini, masih lagi menetap di Jordan.
Antara karyanya yang terkenal ialah Ma' Qasas al-Sabiqin fi al-Quran dan Khulafaa' al-Rasyidin Bainal Istikhlaf wal Istisyhad. Selain itu, Qabasat Tarikhiyyah, Mafatih li Taa’mul ma’ al-Quran, Suwarun min Jihaadissahabah, al-Qasas al-Qurani dan banyak lagi.
2. Syeikh Syuaib Al-Arnaut. Beliau menghabiskan masanya lebih dari empat puluh tahun berkhidmat dengan hadis dengan menyunting semula lebih dari manuskrip-manuskrip hadis dan sehingga lebih 200 jilid kitab dihasilkan.
Beliau bukan sekadar menyunting tetapi turut mentakrijkan hadits-hadis dan menyatakan taraf hadis tersebut. Antara karya besar yang disunting oleh beliau ialah Siyar A'lam al-Nubala lebih kurang 30 jilid, Musnad Ahmad 50 jilid, Sahih Ibnu Hibban Bi Sharh Ibn Libban 14 jilid dan lain-lain.
Antara hasrat beliau ialah untuk menghasilkan ensklopedia hadis-hadis sahih dan hasan dan berharap generasi yang akan datang akan menghuraikan enskopedia tersebut. Semoga Allah mempermudahkan.
Lihat juga: http://tamanulama.blogspot.com/2008/02/kenangan-bersama-syuaib-al-arnaut.html
3. Dr Umar Sulaiman Al-Asyqar. Beliau lulusan PhD Al-Azhar tahun 1980, Universiti Zarqa Ahalliah. Beliau pakar dalam bidang Fiqh, Usul Fiqh, Mu’amalat, Aqidah, Tafsir dan Fatwa Am. Terkenal di Jordan.
Antara karyanya ialah Silsilah Al-Aqidah fi Dhau'i Al-Kitab wa al-Sunnah, Kisah-kisah Sahih Dalam Al-Qur'an & As-Sunnah, Pengertian Dan Hakikat Ikhlas Kerana Allah, Al-Qiyamah Al-Kubra, Alam Jin dan Syaitan dan banyak lagi.