Pages

Jumat, September 19, 2008

Syeikh Abdul Qadir Isa, Dari Kemewahan Kepada Kezuhudan

Beliau ialah Syeikh Abdul Qadir bin Abdillah bin Qasim bin Muhammad bin Isa Azizy Al-Halabi As-Syazili. Nasabnya bersambung kepada Syeikh Umar Al-Ba’aj yang masih keturunan Imam Husein ra.

Beliau dilahirkan di kota Halab, Syria pada tahun 1338H/1920M dari kedua orang tua yang biasa–biasa saja, bukan keturunan ulama. Beliau hidup dengan senang dan serba berkecukupan bersama kedua orang tuanya.

Masa Muda Syeikh

Di awal masa mudanya, beliau sangat menyukai kegiatan olahraga dan pramuka. Beliau juga senantiasa mengenakan pakaian yang mewah, dan memakai minyak wangi yang paling mahal.

Ketika mendapat Hidayah Allah, beliau tidak lagi suka dengan gemerlap dan gebyarnya dunia. Ketika beliau berpaling dari dunia, cara hidupnya berubah total tidak sebagaimana kebiasaannya dulu yang senantiasa hidup dalam kelalaian dan kesenangan dunia. Kemudian beliau mendekatkan diri dan berserah kepada Allah.

Perjalanannya dalam mencari Ilmu

Beliau diberikan kecintaan menuntut ilmu, kemudian bersuhbah dengan para ulama di masanya, diantara guru-gurunya adalah: Syeikh Muhammad Zumar, dan Syeikh Ahmad Muawwad.

Pada tahun 1949 beliau aktif menjadi seorang pendidik di Madrasah Asy-Syubaniyah, beliau mengajar disana selama enam tahun.

Disela-sela kesibukan beliau sebagai sorang pendidik, beliau juga seorang imam dan khotib di Masjid Hamad.

Perjalanan spritualnya

Sebelum beliau bergabung dengan madrasah Asy–Syubaniyah, beliau pernah bersuhbah pada Syeikh Hasan Hasani, seorang Syeikh Tarekat Al–Qodiriyah. Kemudian beliau menempuh perjalanan spritualnya dibawah didikan dan gemblengannya hingga akhirnya ia di beri izin untuk mengembangkan tarekat ini. Dan ditengah-tengah suhbahnya beliau tetap mengajar di madrasah Syubaniyah.

Ketika beliau masih menuntut ilmu di madrasah Syubaniyah, beliau terkenal dengan sifat-sifatnya yang baik, dan budi pekertinya yang luhur, semangatnya yang tak pernah pantang menyerah, semua itu menunjukkan akan kepribadiannya yang baik. Maka tak heran meskipun beliau masih menjadi seorang pelajar, banyak teman-teman di madrasahnya berada dalam bimbingan dan irsyadatnya.

Diantara tanda ketinggian semangatnya dan kejujuran keinginannya untuk mendapatkan cinta dan keridhaan Allah, gelar masyikhoh tidak membuatnya sombong (gurur), dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah diperolehnya berupa ketinggian dan kedudukannya, maka beliau senantiasa mencari seorang syekh yang kamil yang dapat mengenalkan dirinya kepada Allah. Tentang hal ini ia berkata:

“Aku pernah membaca dalam kitab syarah Al-Hikam karya Ibnu Ajibah, aku melihat didalamnya ada sesuatu yang aku sendiri belum merealisasikannya- meskipun pada saat itu aku sudah menjadi seorang Syekh, pada saat itu aku sadar sekali bahwa aku harus bersuhbah dengan seorang syekh yang kamil”.

Di kota Halab beliau belum mendapatkan apa yang diinginkannya, maka beliau memutuskan untuk pergi ke Damaskus. Disana beliau bertemu dengan para ulama setempat, akan tetapi dari sekian banyak ulama yang dijumpainya, beliau belum mendapatkan seorang syekh yang menjadi dambaannya. Lalu beliau berulang-ulang menziarahi kuburan Syekhul akbar Muhyiddin Bin Arabi r.a. lalu beliaupun mendapatkan ilham/petunjuk untuk bersuhbah kepada Syekh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang Syekh Thariqoh Asy-Syaziliyah. Lalu beliau mencarinya, dan mendapatkan syekh Muhammad Al-Hasyimi berada di masjid Al-Umawi di Damaskus sedang memberikan pembahasan ilmu tauhid kepada beberapa orang muridnya. Beliaupun mendatangi majlis Syekh Al-Hasyimi dan memperkenalkan dirinya, lalu Syekh Al-Hasyimi berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling akhir datang, dan Insya Allah engkau akan menjadi orang pertama diantara mereka, ketahuilah sekian lama aku telah lama menunggumu”.

Maka sempurnalah keinginannya untuk bersuhbah dengan seorang syekh yang kamil, beliau bersuhbah dengan Syekh Muhammad Al-Hasyimi tahun 1952 sampai Syekh Muhammad Al-Hasyimi wafat tahun 1961 M.

Ketika Syekh Al Hasyimi melihat pada diri Syekh Abdul Qodir Isa kemampuan untuk membimbing, maka beliau mengijazahkan wirid am dan khas dalam tarekat syaziliyah, sebagaimana diizinkan pula untuk membimbing dan mentarbiyah. hal itu terjadi pada tahun 1338 H / 1958.

Syekh Abdul Qodir Isa ketika itu masih menjadi imam dan khotib di masjid Sahah Hamad sampai akhirnya beliau ditempatkan di Masjid Al-Adiliyah, kemudian disana beliau membuka majlis zikir setiap hari kamis setelah shalat isya.

Syekh memakmurkan Masjid Al-Adiliyah dengan majlis-majlis ilmu dan zikir, hingga tersebarlah kemasyhurannya kesemua pelosok negeri, maka berbondong-bondonglah orang-orang belajar kepada beliau dengan berbagai macam tingkat keilmuan mereka. Setelah itu tersebar luaslah Tarekat yang beliau pimpin di sebagian besar wilayah Syiria, bahkan menyebarluas sampai ke negara-negara tetangga seperti: Yordan, Turki, Libanon, dan Irak. Dan terus menyebarluas kemasyhurannya sampai hampir tidak ada satu negarapun di dunia ini, melainkan terdapat para ikhwan dan murid-murid syekh. Dan tarekat ini pun sampai juga ke negeri Kuwait, Saudi Arabiyah, Maroko, Aprika selatan, Hindia, Pakistan, Inggris, Belgia, Prancis, Kanada, Amerika, dan negara-negara lainnya. Semua ini menunjukkan penguasaan Syekh yang luas dalam bidang ma’rifat, tarbiyah dan irsyad.

Syekh merupakan seorang pembaharu pertama dalam tarekat sufiyah secara umum dan tarekat syaziliyah secara khusus. Hal ini terbukti dari buku beliau yang berulang kali dicetak ulang dan diterjemahkan kedalam bahasa inggeris, turki, indonesia dan melayu hingga nama beliau terkenal di mana-mana.

Ketinggian maqom syekh terbukti dengan banyaknya murid-murid beliau dari berbagai macam tingkat pendidikan dari setiap negara. Murid-murid beliau laksana penyambung lidah beliau dalam dunia tarekat, karena Syekh tidak meninggalkan kekayaan ilmiyah kecuali buku (Haqoiq an At- Tasawuf) saja. Itu semua disebabkan kewajiban-kewajiban da’wah yang harus diperbaiki yang berada dipundaknya dalam rangka menyebarkan tarekat yang benar yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah. Masalah ini telah disebutkan dalam lembaran-lembaran buku beliau.

Inti dari manhaj beliau dan apa yang ingin beliau sampaikan kepada orang-orang, telah dituangkan dan jelaskan dalam bukunya ”Haqoiq an An- Tasawuf ” di mana buku ini sebagai pembuka dalam memahami ilmu syariat, tarekat dan hakikat. Hingga banyak orang menerima dan mengambil manfaat dari kitab ini sesuai dengan tingkat pendidikan mereka.

Karamah Syeikh

Diceritakan bahwa syeikh memiliki sejumlah karamah dan khusyufat (kepekaan spiritual) yang nyata, akan tetapi beliau menepis semua hal itu, bahkan senantiasa mengingatkan para murid agar tidak terjebak pada karamat dan khusyufat, dan beliau senantiasa menegaskan bahwa: “Karamat yang paling besar adalah istiqomah terhadap syariat Allah SWT”. Dan definisi tarekat menurut syekh adalah: beramal menurut syariat”. Ketika beliau mendefinisikan tasawuf, beliau berkata: “Tasawuf semuanya adalah akhlak, barang siapa yang bertambah akhlaknya maka bertambah pula nilai ketasawufannya”.

Selama lima tahun beliau mendapat kemuliaan tinggal di kota Madinah berdekatan dengan maqam Rasulullah Saw, kemudian menetap di Yordan tepatnya di kota Aman untuk berda’wah (menyeru kepada Allah), apa yang dilakukan beliau sebagaimana perilaku para Siddiqin al-mutahaqqiqin yang bila singgah di suatu tempat, masyarakat setempat senantiasa mengambil manfaat dari ilmu, prilaku, dan da’wahnya.

Pada tahun 1991 beliau pergi ke Turki mengunjungi salah seorang muridnya Sayyid Syekh Ahmad Fathullah, salah seorang khalifah tarekat. Ketika disana syekh terkena sakit, dan penyakitnya semakin parah, kemudian beliau dirawat di salah satu rumah sakit di kota Mar-asy, setelah itu beliau dipindahkan ke salah satu rumah sakit di kota Istambul.

Para doktor spesialis yang menangani syekh merasa heran, karena tidak sedikitpun tampak diwajah Syekh adanya rasa sakit, beliau diam, tanpa mengeluh sedikitpun. Hati, mata hati, dan seluruh tubuhnya tenggelam merasakan kebesaran dan mahabbah Allah Swt.

Salah seorang putra Syekh ingin menenangkan perasaan, dan kesadaran Syekh, dan dari masa komanya yang panjang, juga dari kesehatan akalnya, karena sejak sakit beliau tidak berbicara dengan siapapun. Sebelum Syekh sakit beliau selalu memberikan pendidikan khusus dengan putranya ini, karena itulah putranya bertanya tentang bait syair yang pernah didengar dari bapaknya, untuk mengingatkan kepada yang hadir bahwa Allah selalu menangani (memelihara) orang-orang shalih. Alhamdulillah kondisi kesadaraan, kepekaan, dan akal syekh dalam keadaan normal. Diamnya Syekh dikarenakan beliau sedang hanyut dengan cinta Allah Swt. Lalu putranya membacakan bait syair yang berbunyi:

Hai orang yang bertanya kepadaku tentang Rasulullah,bagaimana ia lupa

Lupa itu ………………………………..

Kemudian ia berhenti, dan berkata kepada bapaknya, wahai bapakku tolong sempurnakan untukku bait syair ini, sambil mencandainya, lalu syekh menoleh kepadanya, dan menyempurnakan bait itu:

Lupa itu dari setiap hati yang lalai dan main-main

Lupa lubuk hatinya dari segala sesuatu

Maka ia lupa dari yang selain Allah

Beliau terus mengulang-ngulang bait syair ini: Lupa itu dari setiap hati yang lalai dan main-main

Kemudian mengalirlah air matanya dan menangis, setelah itu beliau tidak pernah berbicara dengan siapapun.

Wafatnya

Beliau wafat pada hari sabtu, jam 6 sore, tanggal 18 Rabiulakhir 1412H, bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1991M. Beliau dimakamkan di samping sahabat Rasulullah yang agung Abu Ayyub Al–Anshari ra di Istanbul, Turki.

Dengan wafatnya beliau kaum muslimim merasa kehilangan seorang mursyid kamil, arif billah, dan tokoh spritual yang alim yang keberadaannya sangat diperlukan ummat. Semoga Allah merahmati dan menempatkan beliau disisiNya yang paling tinggi, dan menempatkan beliau di syurga yang luas bersama para Nabi, siddiqin, syuhada dan orang-orang soleh. Amin.

0 komentar: