Pages

Selasa, April 14, 2009

Menulis Tradisi Ulama Yang Terlupakan

Sejak kecil, orang tua kita mendidik dan melatih kita untuk bisa berbicara dan menulis. Lebih jauh lagi, dapat menulis dan membaca lebih baik. Kita pun dimasukkan ke sekolah dan didik untuk mendapatkan ilmu yang lebih. Dengan menulis pun kita dapat mencurahkan apa yang kita rasakan. Maka tak salah ketika menulis itu jadi salah satu cara mengungkapkan keinginan. Terucap dalam goresan kata-kata yang terukir dan menjadi bagian kehidupan yang harus dijalankan. Iya, semuanya dapat kita raih dengan menulis. Bukankah para ulama terdahulu terkenal dengan tulisan-tulisannya?

Mengapa Harus Menulis?

Setiap hari, kita mendapat ilmu yang itu tak terhitung banyaknya. Maka kita perlu mengikatnya dengan tulisan agar ilmu tersebut tak terlupakan. Rasulullah s.a.w. telah mewasiatkan:

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ رواه الطبراني والحاكم وصححاه ووافقه الألباني

“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Riwayat Tabrani dan Hakim, keduanya menyatakan sebagai hadis sahih dan disetujui oleh Al-Albani)

Bayangkan, apa jadinya apabila ilmu itu tidak ditulis? Tentu gambaran yang sangat buruk jadinya. Contoh nyata, ketika Abu Bakar r.a. atas usulan Umar al-Khattab r.a. memerintahkan Zaid bin Tsabit r.a. agar mengumpulkan al-Quran yang masih berada di dada-dada para sahabat, untuk dituliskan atau dibukukan. Karena kekuatiran Umar al-Khattab r.a. pada masa itu. Kita bertanya, mengapa seorang khalifah kuatir? Karena pada masa itu, banyak huffazh (penghapal Al-Qur’an) yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan. Dari situlah Umar al-Khattab r.a. melihat bahawa al-Quran itu perlu ditulis.

Dari kisah di atas, kita dapat memahami bahawa ilmu perlu diikat dengan tulisan. Karena pada dasarnya sesuatu itu tidak ada yang abadi, sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى

"Semua yang ada di bumi itu akan binasa." (Surah Ar-Rahman: 26)

Jadi, mengapa enggan mengikat ilmu dengan menulis?

Berkaitan dengan menulis, seorang dai sering berpikiran sempit. Ia memandang dakwah itu hanya di atas mimbar. Namun karakter setiap orang berbeda. Ada kalanya seseorang mahir atau lihai di atas mimbar tapi tidak mahir menulis. Demikian pula sebaliknya. Maka ketika seseorang tidak mampu menyampaikan ceramah di atas mimbar, setidaknya ia bisa menulis artikel atau buku. Dengannya, dia dapat menyampaikan apa yang tak mampu diutarakannya di atas mimbar. Dan ketika pemikiran itu sudah ada pada diri setiap muslim atau dai khususnya, tentu 'tradisi' ulama itu dapat lestari.

Menulis, Tabungan Akhirat

Menulis adalah bagian dari amal jariyah. Namun syaratnya, seorang penulis melakukannya ikhlas karena Allah سبحانه وتعلى semata. Sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang berbunyi:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ

“Apabila manusia meninggal dunia maka terputus darinya amalannya, kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.” (Riwayat Muslim)

Bukankah menulis itu ilmu yang bermanfaat? Mari perbanyak tabungan akhirat dengan menulis sejak sekarang.

Perlukah Bakat dalam Menulis?

Bakat menulis sering dijadikan alasan untuk tidak menulis. Padahal para ulama terdahulu tidak pernah mempersoalkan bakat dalam menulis. Tapi yang terpenting adalah keinginan dan minat yang besar dalam belajar. Contoh, Imam Malik menulis kitab Al-Muwatta' sementara beliau dalam pejalanan. Jika kita melihat, beliau tidak memiliki bakat besar dalam menulis, tapi beliau mempunyai kemauan kuat dalam menulis sehingga sepintas beliau nampak seperti orang yang berbakat besar dalam menulis. Maka wajarlah jika lahir karya-karya yang besar dari tangan beliau yang sampai sekarang masih bermanfaat bagi kaum muslimin.

Begitu juga dengan Imam Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari. Beliau menuliskan kitab tersebut bukan karena bakat, tetapi sekali lagi karena kemauan dan keinginan yang sangat besar dalam menulis dan menyebarkan ilmu beliau.

Nah, dari pernyataan tersebut kita dapat memahami bahwasanya bakat itu tak akan lahir jika tak ada kemauan. Karena dari kemauan itu, maka bakat pun lahir.

Katakanlah Anda dan semua orang memvonis diri mereka tidak berbakat, maka menulis artikel atau buku hanya akan tinggal mimpi belaka. Jika kita sudah lebih dulu memvonis diri kita tak berbakat menulis, tak mampu menulis, tak ada waktu menulis, tak ada ide untuk ditulis, maka jangan harap kita bisa menelurkan karya tulis.

Soal mampu atau tidak mampu, berbakat atau tidak, kadang itu hanya soal konstruksi mental yang keliru. Jika konstruksi mental sudah tidak pas, biasanya kita akan sulit melihat peluang-peluang yang bisa kita manfaatkan untuk merealisasikan gagasan-gagasan kita. Jadi, pada kesempatan pertama ini, penting sekali untuk membenahi dulu keyakinan kita, bahwa menulis buku atau artikel itu tidak sesulit yang kita duga, atau tidak memerlukan kemampuan-kemampuan yang melebihi rata-rata orang.

Cara Menulis Artikel Dakwah

Beranjak dari firman Allah سبحانه وتعلى yang berbunyi, artinya:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (Surah Al-'Alaq: 1)

Ya, ayat di atas menunjukkan suatu perintah yang menyerukan kita untuk membaca. Kaitannya dengan menulis ialah membaca itu sendiri, sebagaimana ibarat perkataan yang mengatakan bahwasanya membaca tanpa menulis ibarat orang yang memiliki makanan dan dibiarkannya tanpa memakannya. Sedangkan menulis tanpa membaca ibarat mengeruk air dari sumur yang kering. Tidak membaca dan juga tidak menulis, ibarat orang yang mati di atas lumbung padi.

Jika membaca sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi tuntutan, akan muncul keinginan menulis. Segala sesuatu yang dibaca akan merangsang pendapat kita, baik yang berlawanan maupun yang sejalan dengan isi tulisan. Jika selama atau sesudah membaca sebuah tulisan, timbul perasaan, “Saya juga bisa,” Atau, “Ah, pendapat ini salah.” Insya Allah, bibit kepenulisan mulai mekar berkembang, dan perlu penyaluran segera. Jangan dibatasi dengan “ingin menulis” tanpa pernah mencobanya satu kali pun.

Selanjutnya adalah tumbuhkan kegemaran dan keterampilan menulis. Langkah-langkah ke arah itu, adalah sebagai berikut:

1. Tulislah apa yang ingin kita tulis pada waktu keinginan itu tiba-tiba muncul. Jangan dibiarkan menunggu hingga keinginan itu lenyap kembali. Calon penulis professional akan selalu menyiapkan catatan atau skema singkat, apabila keinginan menulis tiba-tiba muncul. Keinginan menulis tiba-tiba, berupa embrio apa-apa yang akan ditulis, disebut juga ilham, atau apa saja namanya, akan muncul di mana saja. Di perjalanan, di tempat kerja, di bus kota, di warung, dan lain-lain. Secarik kertas yang tersedia di saku kemeja mungkin akan menjadi penampung terpenting pertama dalam situasi dan kondisi mendadak. Atau ingatan yang kuat ikut berperan sebagai terminal gagasan.

2. Luangkan waktu khusus untuk menuliskan apa-apa yang sudah tercatat atau terpikirkan.

3. Jika waktu luang sudah ada, gagasan dan ilham sudah berhasil dituangkan, maka jadilah Anda seorang penulis.

2 komentar:

Nik Adzhar mengatakan...

Salam Saudara,

Saya tertarik dengan perumpamaan yg saudara berikan berkenaan orang yang membaca tanpa menulis,dan menulis tanpa membaca dengan makanan dan air dalam sumur.Cuma saya kurang mengerti maksud saudara itu.Boleh saudara terangkan dengan lebih lanjut dalam blog saya.

Saya juga ingin berkongsi pandangan.Sesetengah orang suka menilai sikit atau banyaknya ilmu seseorang itu dengan meneliti bahan/tulisannya.Orang yang banyak membaca tentulah mengetahui banyak perkara.Sedangkan orang yang kurang membaca pula sedikit pengetahuannya.Ada orang tiada langsung pengetahuan.Ibarat makanan yang terhidang dengan keadaan orang yang lapar.Apabila lapar dia mengatakan banyaknya makanan di atas meja dan amat tidak sabar untuk menjamahnya.Sedangkan orang yang telah kenyang (banyak membaca) mengatakan makanan (ilmu)di atas meja (buku) itu banyak tapi 'tidak bermanfaat' pula baginya. Alangkah sedihnya.

Nik Adzhar mengatakan...

http://zahan-article.blogspot.com