Pages

Minggu, Juni 29, 2008

Siapakah Yang Membunuh Hasan Al-Banna? (Siri 5 & 6 - Akhir)

Kemuncak detik pembunuhan Hasan Al-Banna




Siapakah Yang Membunuh Hasan Al-Banna? (Siri 4)

Siapakah Yang Membunuh Hasan Al-Banna? (Siri 2 & 3)



Sabtu, Juni 28, 2008

Siapakah Yang Membunuh Hasan Al-Banna? (Siri 1)



Hasan Al-Banna adalah sosok dengan keperibadian yang memukau. Aktiviti dakwah yang dimulainya pada usia sekitar 12 tahun telah membangkitkan semangat keimanan dan jihad jutaan orang.

Namun kejayaan dakwahnya juga telah membangkitkan kekhuatiran sekaligus kedengkian banyak pihak, baik lawan politiknya mahupun penjajah yang tidak menghendaki kebangkitan Islam.

Akhirnya pada 12 Februari 1949, pada usia 43 tahun, Hasan Al-Banna dibunuh.

Pertanyaan besar muncul di benak banyak kalangan. Siapakah dalang dibalik pembunuhan beliau? Bagaimana senario pembunuhannya? Ikuti dokumentari ini di video atas tersebut. Eksklusif hanya di blog ini.

Selasa, Juni 24, 2008

Syeikh Zakaria al-Anshari, Sufi Nan Faqih

Khazraj adalah daerah asal alim besar yang bernama lengkap Syeikh Zakaria al-Anshari al-Khazraji. Sayang sekali tahun kelahiran sufi yang sangat harum namanya di dunia Islam ini tidak tercatat. Namun kiranya nama besarnya bisa menutup kealpaan sejarah. Atau kalau memang tanggal kelahiran bisa dijadikan event perayaan. Kiranya para pecinta ilmu keislaman bisa merayakannya tiap hari demi mengingat tokoh besar ini, meskipun dengan cara penambahan kelimuan.

Syeikh Zakaria datang ke Mesir

Syeikh agung yang sangat akrab di telinga para santri ini datang ke Mesir pada masa pemerintahan Qaitbay. Di Mesir ia memperdalam kelimuan di al-Azhar pada saat masih usia 18 tahun.

Tentang kisah kehidupan syekh Zakaria sejak mulai datang ke Mesir hingga akhir hidupnya, beliau ceritakan kepada muridnya, Syeikh Sya'rani : "Kamu mahu aku beri tentang perjalanan saya dari awal hingga akhir ? Maksudku supaya ilmu kamu menjadi dalam, dan seolah-olah kamu hidup dengan saya sejak dari awal". Dengan senang hati Syeikh Sya'rani menjawab tentu saja saya mahu Tuan. "Aku datang dari kampung, saat itu aku masih seorang pemuda yang lugu. Belum ada satupun tempat penampungan, juga belum ada seorangpun yang memperhatikan aku." Begitu Syeikh Zakaria mulai bercerita.

"Keadaan semacam itu tidak membuatku surut untuk memperdlam ilmu keislaman. Ibarat orang minum air lautan, semakin aku meminumnya aku semakin haus dan seperti mau meraih semuanya". Lanjut Syekh agung ini yang disimak khusyu' murid sejatinya.

"Suatu malam, aku lupa kapan itu terjadi, aku keluar mengambil kulit semangka yang tergeletak hina di samping tempat wudlu. Aku mencucinya dan makan rizki yang bagiku itu sangat berarti. Rupanya kebiasaan orang miskin yang aku jalani ini diketahui oleh seseorang yang kemudian aku ketahui bekerja di tempat penggilingan gandum. Mungkin karena iba dengan nasibku, tapi yang pasti beliau sangat baik dan berjasa dalam hidupku, orang itu membelikan aku semua kebutuhanku dari buku-buku dan pakaian. "Zakaria, jangan pernah meminta sesuatu kepada siapapun. Apapun yang kamu perlukan akan aku penuhi" demikian ucap orang mulia ini suatu ketika.

Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Hingga suatu ketika di malam yang sepi, ketika orang-orang sedang tidur, tiba-tiba sang dermawan itu mendatangiku "Bangunlah" begitu ucapnya tiba-tiba. Aku berjalan mengikuti langkah-langkahnya dan berhenti di suatu tangga tempat bahan bakar. Tangga itu lumayan tinggi. Di tengah pikiranku yang berkecamuk mengapa aku dibawa ke tempat ini tiba-tiba orang mulia itu berkata kepadaku: "Naiklah " "Naik tangga ini ?" aku bertanya dalam bimbang. "Ya, naikilah tangga itu.

Aku menaiki tangga itu dengan pelan dan terus berpikir apa makna semua ini. Orang tua asuhku it uterus bilang, "Ayo terus naik, terus ". setelah aku sampai di puncak beliau berkata : "Kamu akan tetap hidup sementara semua kawan sezamanmu telah mati. Kamu akan unggul melebihi semua ulama Mesir. Murid-muridmu akan menjadi syekh-syekh besar. Inilah yang terjadi dalam kehidupanmu hingga tertutup penglihatanmu". "Berarti aku akan menjadi buta?" ratapku seketika. Beliau berkata: "Sabarlah itu sudah menjadi suratan wajib bagimu". Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu beliau lagi.

Syeikh Zakaria, aktiviti keilmuan dan kesufian

Secara konsisten Syekh Zakaria belajar, mengaji di al-Azhar. Beliau mendengarkan pengajian para ulama, para ahli fikih serta para ahli tasawwuf secara khusus. Hingga akhirnya beliau menjadi seorang tokoh aliran fikih dan tasawwuf.

Bagi sufi agung ini waktu mempunyai arti yang sangat besar. Dalam hal ini, Syekh Sya'roni berkata: "Saya telah melayani beliau selama 20 tahun. Sungguh saya tidak pernah mendapatkan dirinya lupa sedikitpun. Beliau tidak pernah melakukan suatu pekerjaan yang tidak ada artinya, baik siang maupun malam”.

Seiring dengan merangkaknya usia, beliau selalu melakukan shalat sunnah secara sempurna. Beliau berkata: "Saya tidak ingin diri ini kembali menjadi seorang yang malas". Apabila beliau didatangi oleh seseorang yang banyak omongnya, beliau akan langsung berkata: "Kamu telah menyia-nyiakan waktu kita".

Dalam waktu yang cukup lama beliau selalu menyempatkan diri untuk berdiam diri dalam sebuah khanqah saidus suada' (tempat berkontemplasinya para sufi). "Sejak kecil saya telah menyukai Thariqah kaum sufi. Kesibukanku selalu aku isi dengan membaca buku-buku mereka dan mengambil pelajaran dari tingkah laku mereka, serta berkumpul dengan para ahli tasawwuf" demikian Syekh Zakaria berujar suatu ketika.

Dalam khanqah ini beliau selalu berkumpul dengan para ahli sufi untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka. Demikian juga mereka mengambil manfaat ilmu beliau dalam fikih dan syariat. Kehidupan beliau di dalam khonqoh banyak mempengaruhi beberapa karangan beliau, seperti syarah risalah al-qusyairi (ilmu tasawwuf), qowaid sufiah ( kaedah-kaedah sufi), serta catatan pinggir beliau dalam kitab Tafsir Baidlowi.

Kiranya sangat bermanfaat di sini untuk mengetahui sejarah khanqah saidus suada'. Tempat itu adalah pertama kali yang didirikan di Mesir. Sekaligus merupakan tempat untuk berkontemplasi Syekh Zakaria untuk waktu yang lama. Syekh Zakaria telah mempersiapkan dirinya di khanqah saidus suada' untuk menulis beberapa karangannya yang besar, sebut saja misalnya: Syarh Bukhari. Kadang-kadang beliau menyuruh muridnya Syekh Sya'roni untuk membantu menulis. Syekh Sya'roni berkata: "Tulisan saya bagus". Dia menambahkan, "Apabila saya duduk dengan beliau, seolah-olah saya duduk dengan para raja yang shalih yang arif. Mufti besar Mesir, para pangeran dan pembesar ketika duduk di hadapan beliau seperti anak-anak kecil".

Karamah Syeikh Zakaria al-Anshari

Raja al-Ghouri suatu ketika marah karena satu peristiwa. Ketika dia tahu akan kedatangan Syekh Zakariya untuk menyelesaikan masalah ini, dia memerintahkan supaya di depan rumahnya dipasang rantai. Ketika Syekh Zakariya meihat ada rantai, beliau memotong rantai tadi dengan kertas yang ada di tanganya. Selanjutnya beliau masuk bersama para penduduk.

Tertulis dalam biografi beliau, bahwa permulaan "Kasyf" (tersingkapnya rahasia ilahi) muncul setelah beliau mengarang syarah bahjah, di mana orang-orang tidak mengakui bahwa itu merupakan karangan beliau. Mereka menulis kitab al-A'ma wal Bashir sebagai komentar dan celaan terhadap beliau.

Dalam kitab ini Syekh Zakaria bercerita : "Aku adalah orang yang doanya selalu dikabulkan. Setiap aku mendoakan seseorang, maka doa permohonan itu pasti diterima". "Waktu itu aku sedang i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan di Masjid al-Azhar, demikian beliau melanjutkan kisah Kasyaf –nya, tiba-tiba aku didatangi seorang pedagang dari Negeri Syam. "Mata saya telah buta kata orang itu membuka kata, "orang-orang menunjukkan saya agar datang kepadamu wahai Syekh, doakan saya supaya penglihatan saya dikembalikan" Kemudian berdoa kepada Allah memohon supaya penglihatannya dikembalikan.

"Kalau kamu penglihatanmu dikembalikan, kamu harus meninggalkan negeri ini". Begitu aku katakan kepadanya, karena dalam kasyf-ku ia sembuh dalam sepuluh hari. Juga karena aku takut jika dia sembuh di Mesir, dia akan cerita pada orang banyak.

Maka pergilah pedagang tersebut dan dikembalikan penglihatannya di Gaza (Palestina). Setelah sembuh dia mengirim surat dan saya membalasnya, "Jika engkau kembali ke Mesir, maka kamu akan buta lagi", Dan demikianlah, dia terus menetap di al-Quds sampai akhirnya mati dalam keadaan tidak buta.

Syekh Sya'roni bercerita : "Suatu hari aku mengaji pada beliau Syarh Bukhori. Di tengah-tengah aku membaca, beliau berkata padaku. "Cukup, ceritakan padaku mimpimu malam ini". Memang aku telah bermimpi aku bersama Syekh Zakaria dalam suatu kapal yang layarnya dari sutra, tampar dan permadaninya dari sutra hijau tipis, ada banyak balai-balai dan bantal dari sutra. Di situ aku melihat Imam Syafi'i duduk dan Syekh Zakaria di sampingnya. Kapal ini terus berjalan dan berhenti di pulau bak hati ikan yang sangat bagus. Ada perkebunan, buah buahan dan wanita-wanita cantik.

Selesai aku bercerita Syekh Zakaria berkata: "Kalau mimpimu ini benar, maka aku akan dimakamkan di samping Imam Syafi'i radiallahu 'anhu. Ketika Syekh Zakaria meninggal, para muridnya telah menyiapkan makam untuk beliau di Bab Nasr, lalu kawan Sya'roni yang tahu tentang mimpinya barkata: "Wahai Sya'roni, mimpimu bohong". Pada saat itu datanglah utusan dari Pangeran Khair Bik (wakil raja) sambil berkata: "Raja sekarang ini sedang sakit dan tidak mampu datang ke sini. Raja memerintahkan kalian untuk membawa Syekh Zakaria ke medan Qal'ah untuk dishalati di sana". Setelah salat, Khair Bik berkata : ”Makamkan saja Syekh Zakaria di pekuburan Syekh Najmuddin al-Khayusyani di depan Imam Syafi'i". Ini terjadi pada Dzulhijjah tahun 926 H.

Rujukan :

Ihya’ Ulumuddin (Imam Ghazali).

Bihar al-Wilayah al-Muhammadiyyah fi Manaqib A’lam al-Sufiyyah (DR. Jaudah M Abu al-Yazid al-Mahdi).

Husnul Muhadlarah (Imam Suyuthi).

Syahsiyyat Istauqafatni (DR Said al-Bouti).

Al-Kaukab al-Dzurriyyah (al-Munawi).

Mursyid al-Zuwwar ila Qubur al-Abrar (Muhammad Fathi Abu Bakr).

Masajid Misr wa Auliya’uhu al-Shalihin (DR. Suad Mahir)

Senin, Juni 16, 2008

Zunnun al-Misri, Sang Wali Yang Haus Hikmah

Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Zunnun al-Misri. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.

Perjalanan menuju Mesir

Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).

Perjalanan ke dunia tasawuf
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.

Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".


Perjalanan ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufipun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.
Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa "Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa ". Dengan khusyu' Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.
Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. " Aku harus menemuinya " begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : "Apakah keselamatan itu?". Orang tersebut menjawab "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)". "Selain itu ?". pinta Dzunnun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!". "Selain itu ?" pinta Dzunnun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus". Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Kealiman Dzunnun al-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.
Maslamah bin Qasim mengatakan "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits ". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".
Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dhahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?". Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan". Salah satu pegawai raja menyela : " Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah".

Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata "Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….".
Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini". Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzunnun".

Pujian para ulama' terhadap Dzunnun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.
Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".

Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".

Karomah Dzunnun al-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami' al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku "engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira". Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).
Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya". Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab al-Sya'roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata "Ya Allah… keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar, Zunnun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah meredhainya.

Minggu, Juni 08, 2008

Syeikh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi, Keramatnya Boleh Menghidupkan dan Mematikan Orang

Syeikh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi adalah seorang wali qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Tariqah Naqsyabandiyah sebuah tariqah yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.

Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.

Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.

Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”

Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.

Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :

1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.

Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.

Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.

Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”...

Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.

Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.

Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.

Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.

Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.

Kamis, Juni 05, 2008

Sayyid Ahmad al-Rifa’i, Ketinggian dan Kehalusan Budi Pekertinya

Nama lengkapnya Sayyidi Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Rafa'ah berasal dari negeri Maqribi. Bapanya membawa pindah ke negeri Iraq dan mereka bermustautin di Madinah. Beliau dilahirkan pada tahun 500 Hijrah.

Pertama sekali beliau belajar Ilmu Fekah Mazhab Syafie. Dipelajarinya Kitab Al-Tanbih, akan tetapi beliau lebih cenderung kepada pelajaran Sufi. Diserangnya hawa nafsunya, sentiasalah dia berpaling dari manusia demi mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan "Memperkaitkan Ilmu Hakikat". Terkenal dia sebagai seorang yang sangat mahir dalam pengetahuan Sufi.

Dari semua pihak, dia mula dikenali dan banyak mendapat pengikut. Terkenallah golongan itu dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah". Banyaklah perkara-perkara dan hal-hal aneh yang berlaku terhadap pengikut-pengikutnya. Di antaranya, mereka dapat masuk ke dalam api yang sedang menyala besar, dapat menjinakkan binatang buas seperti harimau di mana haiwan ini akan menurut kata sehingga dapat dijadikan kenderaan oleh mereka. Banyak lagi keajaiban-keajaiban yang lain lagi.yang ada pada mereka.

Ketika pertama kali Sayyidi Ahmad bertemu dengan seorang Wali bernama Sheikh Abdul Malik Al-Khonubi. Sheikh ini memberinya pelajaran berupa sindiran tetapi sangat berhikmat dan berkesan kepada dirinya iaitu;

Orang yang berpaling dia tiada sampai
Orang yang ragu-ragu tidak dapat kemenangan.
Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka sekelian waktunya adalah kurang.

Setahun lamanya Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini. Setelah setahun dia datang kembali menemui Sheikh Abdul Malik Al-Khonubi. Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i minta wasiat lagi, maka berkata Sheikh Abdul Malik;

Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal;
Sangatlah keji penyakit pada sisi sekelian doktor;
Sangatlah keji sekelian kekasih yang meninggalkan Wusul(sampai kepada Allah)

Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i mengulang-ulang pula perkatan itu selama setahun dan banyak dia mendapat manfaat dari perkataan itu kerana perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan. Pada suatu hari Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i melalui tempat seorang anak kecil yang sedang bermain-main, lalu dia pun menanya kepada anak itu; "Anak siapa engkau?" Sahut anak itu; "Apa engkau peduli!!!"

Dengan rasa menyesal diulang-ulangi perkataan itu dan beliau pun menangis dengan sedihnya. Dalam pada itu dia berkata;

"Telah kamu beri peradab(mengajar adab) kepadaku hai anakku".

Dia sentiasa menghina dirinya. Salah satu dari sekian budi pekertinya yang mulia ialah beliau seringkali membawa pakaian orang-orang yang berpenyakit kusta dan sakit yang telah menahan yang sangat keji bagi pandangan umum. Dipelihara orang-orang yang sedang sakit itu; dihantarkan makanan untuk mereka dan dia juga turut makan bersama-sama dengan orang-orang sakit itu.

Kalau dia datang dari perjalanan, apabila telah dekat dengan negeri maka dipungutnya kayu api dan setelah itu dibahagi-bahagikan kepada orang-orang sakit, orang buta, orang tua dan sebagainya. Dia berbakti bukan sahaja kepada manusia, tetapi juga kepada binatang.

Diriwayatkan bahawa adalah seekor anjing menderita sakit Jazam(Kusta). Ke mana sahaja anjing itu pergi, ia akan diusir orang. Anjing itu diambil oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i lalu dimandikan dengan air panas, diberikan ubat dan makan secukupnya sehingga sembuhlah anjing itu dari penyakit yang dideritainya. Orang bertanya kepadanya; "Mengapa engkau mengamat-amat anjing itu?". Katanya;

"Bahkan aku takut berkata Allah kepadaku pada hari Qiyamat: Tidakkah engkau kasihan dengan anjing itu? Tiada takutkah kamu Aku balakan dengan demikian bala?"

Pada suatu hari, ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu sembahyang telah masuk lalu diguntingnya lengan bajunya itu kerana tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lena tidur itu.

Budi pekerti mulia yang ada padanya pula ialah beliau tidak mahu membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila beliau dimaki oleh orang, beliau terus menundukkan kepadanya mencium bumi dan menangis serta meminta maaf kepada yang memakinya.

Di antara Keramatnya yang besar pula ialah apabila dia mengajar, suaranya dapat didengar oleh orang yang berada di sekitar kampung tempat dia mengajar itu, bahkan orang yang buta sekalipin dapat mendengar dengan jelas penerangan beliau itu.

Jika ada orang minta tuliskan Azimat kepadanya, maka dia ambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Pernah ada orang yang ingin mengujinya bahawa kertas yang tidak nampak tertulis itu dibawa kembali kepadanya supaya dituliskan Azimat tetapi anehnya beliau tahu bahawa kertas yang diberiakn kepada beliau itu telah tertulis.

Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad SAW., maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalam dengan beliau dan beliau pun terus mengucup tangan Nabi SAW. yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang rami yang sama-sama berziarah ke Maqam Nabi SAW. tersebut. Salah seorang muridnya berkata;

"Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub"

Jawabnya; "Sucikan olehmu syak mu daripada Qutubiyah"

Kata murid: "Tuan Guru adalah Ghaus!"

Jawabnya: "Sucikan syakmu daripada Ghausiyah".

Al-Imam Sya'roni mengatakan bahawa yang demikian itu adalah dalil bahawa Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i adalah telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar" kerana bahawasanya Qutub dan Ghaus itu adalah Maqam yang maklum(diketahui umum). Barangsiapa berserta Allah Taala dan dengan Dia, maka tiada diketahui baginya Maqam dan jika ada baginya pada tiap-tiap Maqam itu Maqam sekalipun.

Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i sakit yang mengakibatkan kewafatan beliau, berkata khadamnya kepada beliau;

"Tajallilah bagi Tuan Guru oleh pengantin pada tahun ini"

Jawabnya: "Ya, Bahkan!

Kata khadam: "Dari kerana apa?"

Jawabnya:

"Telah berlaku beberapa perkara yang telah kami belikan dengan Ruh kami. Dan demikian itu telah berlaku bala yang sangat besar atas makhluk. Maka aku menanggungnya dengan yang tinggal daripada umurku. Maka dijualkan kepadaku"

Menangislah Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i sambil menelengkup mukanya sambil berkata;

"Ampunilah olehmu hai Tuhanku. Jadikanlah aku sebagai atap bala daripada sekelian makhluk engkau".

Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i ialah sakit "Muntah Berak"(Kolera). Setiap hari keluar dari perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Demikianlah mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.

Orang bertanya kepadanya;

"Dari mana ini? sedangkan sudah dua puluh hari Tuan Guru tidak makan dan tidak minum?"

Jawab Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i;

"Ini adalah daging yang hancur. Maka keluarlah ia. Sesungguhnya telah habis daging. Tiada tinggal melainkan hanya sehari ini. Besoknya kami pergi kepada Allah".

Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali. Setelah itu berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya.

Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Khamis waktu Zhohor 12 haribulan Jamadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.