Dunia tasawuf mengenal banyak cerita sufi. Sebahagian dari cerita itu termuat dalam kitab Tadzkiratul Awliya, Kenangan Para Wali, yang ditulis oleh Fariduddin Attar. Buku ini ditulis dalam bahasa
Attar mengumpulkan kisah para wali; mulai dari Hasan Al-Bashri, sufi pertama, sampai Bayazid Al-Busthami. Dari Rabiah Al-Adawiah sampai Dzunnun Al-Mishri. Selain buku ini, Attar juga menulis buku cerita sufi berjudul Manthiquth Thayr, Musyawarah Para Burung. Berbeza dengan kitab pertama yang berisi cerita para tokoh sufi, kitab ini berbentuk novel dan puisi sufi. Sebahagian besar ceritanya bersifat metaforis.
Fariduddin dijuluki Attar (penjual wewangian), kerana sebelum menjadi sufi ia memiliki hampir semua toko ubat di Mashhad,
Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Lelaki itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan bila kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap lelaki tua itu, "saksikan di hadapanmu bahawa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti lelaki tua itu; mengetahui bila ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as,
Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam kebudayaan
Kebudayaan Islam
Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan mengapa ia menulis buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama, tulis Attar, kerana Al-Quran pun mengajar dengan cerita. Surat Yusuf, misalnya, lebih dari sembilan puluh peratus isinya, merupakan cerita.
Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita dengan cerita: Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang dahsyat, yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dari
Demikian pula
Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan, tulis Attar, adalah kerana Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita. Sebuah hadis menyebutkan bahawa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, kerana kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana.
Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahawa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara rohaniah.
Dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalil dianjurkannya menghadirkan orang-orang soleh untuk memberkati tempat tinggal kita. Ia meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah saw untuk jamuan makan. Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu untuk menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian solat dua rakaat di rumah itu meskipun bukan pada waktu solat.
Menurut Imam Nawawi, solat Nabi itu adalah solat untuk memberkati rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, "Inilah keterangan tentang mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang soleh." Sayangnya, tulis Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit berjumpa dengan orang-orang soleh secara jasmaniah. Kita sukar menemukan wali Allah di tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh kerana itu, Attar menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal dunia. Attar memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari mereka. "Saya hanya pengantar hidangan," lanjut Attar, "dan saya ingin ikut menikmati hidangan ini bersama Anda. Inilah hidangan para awliya."
Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia mengumpulkan cerita para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan bahawa dengan menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan-akan kita menemui para wali itu di alam rohani, kerana di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka.
Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Kerana telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesolehannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya solat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman rohani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan."
Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu."
Murid itu hairan, "Mengapa, ya Tuan Guru?"
"Kerana kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid.
"Bisakah kau ubati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid.
"Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya."
"Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu.
"Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di
"Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, "Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir."
Murid itu kehairanan, "Mengapa bisa begitu?"
Bayazid menjawab, "Kerana kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu."
"Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain."
Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!"
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu."
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa.
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majlis kamu merasa bahawa kamulah orang yang paling soleh di majlis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majlis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling soleh, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahawa perasaan ujub akan amal soleh yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.
Selasa, September 23, 2008
Hikmah Dari Kisah Waliyullah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar