Biografi ini ialah permintaan daripada seorang akhi yang ingin mengetahui kisah hidup ulama ini. Juga beliau meminta pandangan Ibnu Taimiyah mengenai tasauf. Berikut saya paparkan biografi mengenai Ibnu Taimiyah, seorang da'i & penghidup sunnah.
Beliau adalah imam, qudwah, alim, zahid dan da'i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran mahupun jihadnya, syeikhul Islam, mufti Anam, pembela dinullah daan penghidup sunnah Rasul s.a.w. yang telah dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arab yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Isnin 10 Rabiulawal 661H.
Beliau berhijrah ke Damsyi bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta`ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur`an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu`jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu`alaihi wa sallam.
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.
PUJIAN ULAMA
Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan beliau.
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.
Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?
Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia . Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-`Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma`ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta`dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya . Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
DA`I, MUJAHID, PEMBASMI BID`AH DAN PEMUSNAH MUSUH
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da`i yang tabah, liat, wara`, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: "tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lariâ" Akhirnya dengan izin Allah Ta`ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
KEHIDUPAN PENJARA
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal`ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara:
Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid`ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari`at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid`ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.
WAFATNYA
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-`Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur`an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur`an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara`, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Seorang saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau wafat pada tanggal 20 Zulhijjah 728 H dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, da`i, mujahidd, pembasmi bid`ah dan pemusnah musuh. Wallahua`lam.
Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ilmu Tasauf
Sikap Ibnu Taimiyah tentang tasauf adalah di jalan pertengahan antara ekstrim yang menerima secara keseluruhan dan ekstrim yang menolak secara keseluruhan. Beliau berkata:
Sekumpulan orang menerima (secara keseluruhan) baik yang benar tentang tasawwuf mahupun yang salah tentang tasawwuf manakala sekumpulan lagi mengingkari (secara keseluruhan) baik yang benar tentang tasawwuf mahupun yang salah tentang tasawwuf. Ini sebagaimana segolongan ahli kalam dan ahli fiqh. Sikap yang benar adalah, sesungguhnya sesuatu itu diterima – sama ada berkenaan tasawwuf atau selainnya – hanya apabila ia selari dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan sesuatu itu diingkari – sama ada berkenaan tasawwuf atau selainnya – apabila ia berselisihan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Di tempat yang lain Ibn Taimiyah berkata:
Dalam tasawwuf wujud orang yang benar dan orang yang silap sebagaimana yang ditemui pada orang-orang selain mereka (dalam bidang yang lain). Tidaklah pada perkara yang sedemikian menandingi para sahabat dan tabi‘in (kerana) tidak ada seorang jua yang maksum dalam setiap perkataannya (pendapatnya) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maksud Ibn Taimiyyah, kesilapan-kesilapan yang wujud di kalangan sebahagian ahli tasawwuf tidaklah lebih berat atau lebih ringan daripada kesilapan generasi sahabat dan tabi‘in kerana semua manusia sedikit atau banyak pasti berbuat silap kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibn Taimiyyah memperjelaskan lagi hal ini di tempat yang lain:
Penelitian ke atas persoalan ini mendapati bahawa (ilmu tasawwuf) mengandungi sesuatu yang terpuji dan yang tercela sebagaimana juga jalan (ilmu) yang lain. Yang tercela daripada ilmu tasawwuf adakalanya bersifat ijtihad dan adakalanya tidak. Kedudukan para ahli tasawwuf dalam perkara ini adalah sebagaimana kedudukan para ahli fiqh dalam mengeluarkan pendapat. Pendapat para ahli fiqh adakalanya turut tercela, apatah lagi pendapat ahli ibadah dan golongan orang ramai.
[2] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Ahli Tasawwuf.
Ibn Tamiyyah ialah seorang tokoh yang amat menghormati dan menyanjung tinggi tokoh-tokoh tasawwuf. Selagi mana mereka berada pada jalan al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih berdasarkan pemahaman generasi al-Salaf al-Shalih, Ibn Taimiyyah akan menyebut nama mereka dengan penuh kehormatan, pujian dan sanjungan. Antara bukti yang paling jelas ialah kata-kata Ibn Taimiyyah berikut ini:
……bahawasanya mereka adalah para syaikh umat Islam dan para imam pemberi petunjuk yang dijadikan Allah Ta‘ala di lisan mereka kebenaran untuk ummah, (mereka itu ialah) seperti Sa‘id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Malik bin Anas, al-Awza‘ie, Ibrahim bin Adham (160H), Sufyan al-Tsauri, al-Fadhil bin ‘Iyadh (187H), Ma‘aruf al-Karkhi (200H), al-Syafi‘ie, Abi Sulaiman (al-Darani) (215H), Ahmad bin Hanbal, Bisyr al-Hafi (227H), ‘Abd Allah bin al-Mubarak, Syaqiq al-Balkhie (194H) dan banyak lagi yang tidak dapat diperkira.
Contoh mereka yang terkemudian ialah al-Junaid bin Muhammad al-Qawarairi (297H), Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari (283H), ‘Umar bin ‘Utsman al-Makki (291H) dan orang-orang sesudah mereka sehinggalah kepada Abi Thalib al-Makki (386H), sehingga seumpama ‘Abd al-Qadir al-Kailani (561H)…………
Adapun pandangan Ibn Taimiyyah tentang para tokoh tasawwuf yang lain, ia adalah pandangan yang berada di pertengahan antara memberi pujian dan kritikan. Antaranya beliau menulis:
Yang benar adalah, bahawasanya mereka (ahli tasawwuf) ialah orang yang bersungguh-sungguh (مجتهدون) dalam ketaatan kepada Allah sebagaimana juga kesungguhan orang selain mereka daripada kalangan yang taat kepada Allah. Maka di kalangan mereka terdapat orang yang terkehadapan (السابق) dalam menghampirkan diri (kepada Allah) sesuai dengan ijtihadnya dan di kalangan mereka terdapat juga orang yang cermat (المقتصد), yakni mereka yang daripada ahli kebaikan (أهل اليمين). Apapun, pada setiap golongan orang yang bersungguh-sungguh, kadang-kala dia tersilap. Maka di kalangan mereka ada yang berdosa lalu (di antara mereka) ada yang bertaubat atau tidak bertaubat.
Dan di antara yang menyandarkan diri kepada para ahli tasawwuf adalah orang yang zalim kepada dirinya sendiri lagi berbuat dosa terhadap tuhannya. Bahkan adakalanya yang menyandarkan diri para ahli tasawwuf adalah daripada kelompok ahli bid‘ah dan zindik. Namun di sisi para peneliti ahli tasawwuf, orang-orang seperti ini bukanlah daripada mereka.
Seperti al-Hallaj (309H) misalnya, kerana sesungguhnya ramai syaikh tasawwuf yang mengingkari dan mengeluarkannya daripada tarikat sufisme. Contohnya ialah al-Junaid bin Muhammad, penghulu tarikat sufisme (سيد الطائفة) dan orang selainnya. Ini sebagaimana yang disebut oleh al-Syaikh Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami di dalam kitabnya Thabaqat al-Shufiyyah dan al-Hafiz Abu Bakar al-Khatib di dalam kitabnya Tarikh Baghdad.
Sikap pertengahan Ibn Taimiyyah juga menyebabkan dia menganggap yang paling utama ialah orang yang bertaqwa kepada Allah tanpa mengira sama ada orang tersebut cenderung kepada aliran tasawwuf atau selain tasawwuf. Apabila membahas pertanyaan tentang pembahagian kaum sufi kepada al-Fuqara’ (orang-orang yang fakir) dan sebagainya, beliau merumuskan:
Kesimpulannya, bahawa yang paling afdal di antara keduanya (ahli sufi dan fuqara’) adalah yang paling bertaqwa di antara keduanya. Maka jika seorang sufi bertaqwa kepada Allah maka dialah yang lebih afdal daripada seorang faqir, di mana dia (dengan sifat taqwa tersebut) melakukan amal yang disukai oleh Allah dan meninggalkan apa yang tidak disukai oleh-Nya. Maka dialah yang lebih afdal daripada orang faqir.
Dan jika orang faqir melakukan amalan yang disukai oleh Allah dan meninggalkan apa yang tidak disukai oleh-Nya, maka dialah yang lebih afdal daripada seorang sufi. Dan jika kedua-duanya (sufi dan faqir) bersamaan dalam melakukan amalan yang disukai (oleh Allah) dan meninggalkan selain daripada yang disukai (oleh Allah) maka darjat (keafdalan) kedua-duanya adalah sama.
(Ini kerana) para wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertaqwa tanpa mengira apakah dia seorang faqir, ahli sufi, ahli fiqh, ahli ilmu, ahli perniagaan, tentera, ushawan (صانعا), pemimpin, hakim atau selainnya. Allah Ta‘ala berfirman:
أَلاَ إنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ.
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita. (Wali-wali Allah itu ialah) orang-orang yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. [Yunus 10:62-63]
[3] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Kitab-Kitab Tasawwuf
Termasuk sikap pertengahan Ibn Taimiyyah ialah ke atas kitab-kitab karangan para tokoh tasawwuf. Beliau tidak mengkritik atau menolaknya habis-habisan, sebaliknya mengakui di dalamnya terdapat kebenaran dan kesilapan, kelebihan dan kekurangan. Beliau berkata:
Di dalam penulisan (kitab-kitab) zuhud dan tasawwuf terdapat perkara-perkara yang juga terdapat di dalam penulisan (kitab) fiqh dan pemikiran (الرأي), kedua-duanya mengandungi riwayat-riwayat yang sahih, lemah bahkan palsu. (Ia juga mengandungi) pendapat-pendapat yang benar, lemah bahkan batil. Adapun penulisan ilmu kalam, maka di dalamnya terdapat kebatilan yang amat berat (الباطل أعظم) dengan jumlah yang banyak, bahkan di dalamnya juga terdapat perbahasan-perbahasan yang bersifat zindik dan munafik.
Jika sekalipun wujud riwayat-riwayat yang sangat lemah dan palsu, itu bukanlah atas kesengajaan pengarangnya. Setiap pengarang adalah manusia yang pasti adakalanya tersilap tanpa mengira sama ada dia ahli tasawwuf, ahli tafsir atau ahli hadis. Ibn Taimiyyah menjelaskan hakikat ini:
Wujud di dalam kitab-kitab tasawwuf dan yang bercorak melembutkan hati (الرقائق) riwayat-riwayat yang sebahagiannya sahih, sebahagiannya lemah dan sebahagiannya palsu. Dalam hal ini bersepakat seluruh umat Islam bahawa tidak akan terlepas daripada kitab-kitab (karangan para tokoh) riwayat-riwayat yang seumpama (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Hal ini dapat diperhatikan dalam kitab-kitab yang ditulis dalam subjek tafsir al-Qur’an. Bahkan bagi ahli hadis yang paling dekat (paling arif) dengan ilmu periwayatan, dalam kitab mereka wujud riwayat-riwayat yang seumpama (sebahagiannya sahih, lemah dan palsu). Maka bagaimana pula dengan para tokoh yang bukan ahli hadis?
Para pengarang yang terdiri daripada para imam sama ada dalam bidang fiqh, tasawwuf atau hadis, sekali sekala mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak mereka ketahui bahawa ia adalah dusta (riwayat palsu). Ini adalah satu kelaziman bagi para agamawan yang jika mereka mengetahui ia adalah riwayat dusta, pasti mereka tidak akan berhujah dengannya.
[4] Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Adab Guru dan Murid.
Antara disiplin yang penting di dalam ilmu tasawwuf ialah adab antara guru dan murid. Guru dianggap sebagai jalan atau medium yang dapat menyampaikan seorang murid kepada ketaatan dan keredhaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Ibn Taimiyyah mengiktiraf kepentingan adab antara guru dan murid. Akan tetapi beliau tidak bersetuju dengan sikap membataskan penuntutan kepada seorang guru sahaja. Beliau juga menekankan bahawa guru yang sebenar ialah mereka yang beriman, bertaqwa lagi arif dalam mengunggulkan al-Qur’an dan al-Sunnah di atas segala yang lain. Beliau berkata:
Adapun tindakan sekelompok orang yang hanya menyandarkan dirinya kepada seorang syaikh tertentu, maka sememangnya tidak diragui bahawa manusia memerlukan siapa sahaja yang mereka dapat ambil (belajar) darinya (tentang) iman dan al-Qur’an. Ini sebagaimana yang diperoleh oleh para sahabat daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang diperoleh oleh para tabi‘in daripada mereka (para sahabat) sehingga yang sedemikian menghasilkan para pengikut generasi awal yang terbaik.
Justeru sebagaimana seseorang itu boleh belajar daripada sesiapa sahaja yang ahli dalam ilmu al-Qur’an dan yang seumpama maka demikian juga dia boleh belajar daripada sesiapa sahaja yang ahli dalam ilmu agama, baik yang lahir mahupun batin. Dan janganlah dibatasi proses pembelajaran kepada seorang syaikh tertentu sahaja kerana seseorang itu tidak memiliki hujah pada yang sedemikian untuk menyandarkan dirinya kepada syaikh tertentu sahaja.
Setiap orang yang dapat memberi manfaat yang tidak lain daripada manfaat agama, maka dialah syaikhnya dalam kemanfaatan tersebut. Bahkan setiap yang telah meninggal dunia namun perkataannya, perbuatannya dan pengaruhnya yang bermanfaat dalam agama sampai kepada manusia (yang masih hidup), maka dari sudut ini dia (manusia yang telah meninggal itu) adalah juga syaikh (bagi yang masih hidup). Maka atas dasar ini generasi salaf umat ini adalah syaikh kepada penggantinya, generasi sesudah generasi.
Oleh itu tidaklah boleh seseorang itu menyandarkan dirinya kepada seorang syaikh dengan memberi janji taat setia sebagai pengikutnya dan membataskan dirinya pada yang sedemikian. Akan tetapi kewajipannya ialah memberi janji taat setia kepada setiap orang yang beriman lagi arif dan bertaqwa, kesemuanya sekali tanpa mengira sama ada dia daripada kalangan para syaikh atau bukan. Tidak boleh mengkhususkan janji taat setia kepada seseorang melainkan padanya jelas kelihatan keimanan dan ketaqwaan (yang tinggi). Hendaklah didahulukan sesiapa yang mendahulukan Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya dan hendaklah diutamakan sesiapa yang mengutamakan Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah Ta‘ala:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam Pengetahuan-Nya. [al-Hujerat 49:13]
Di tempat yang lain beliau menyambung:
Apabila para syaikh, para pemerintah dan selain mereka memerintahkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka taatlah perintah mereka. Akan tetapi jika mereka memerintahkan apa yang sebaliknya maka janganlah mentaati mereka kerana sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Tidak ada seorang jua (daripada para syaikh, para pemerintah dan selain mereka) yang maksum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketentuan ini berlaku sekalipun ke atas seorang syaikh yang jelas terkenal dengan keagamaan dan keilmuannya.
Adapun orang yang mencipta bid‘ah yang nyata dan membuat kejahatan yang nyata, maka hendaklah diingkari bid‘ahnya dan kejahatannya serta jangan ditaati perintahnya berhubung dengan bid‘ah dan kejahatan tersebut. Akan tetapi jika dia atau orang selainnya memerintahkan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini kerana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib terhadap setiap individu dalam setiap keadaan tanpa mengira siapa yang memerintah dengan perintah tersebut.
Sumber:
http://www.salafyoon.net/sirah/ibnu-taimiyah.html
http://hafizfirdaus.com/ebook/Risalah-6/tajuk1.htm
Minggu, Juli 05, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
Salam.. Ibnu Taimiyah ni seorang yg patut di contohi.. Moga2 dalam rahmatNya sentiasa~
salama 'alaik. pelik kerana masih ada org yg memperkecilkan ulama seperti beliau.
Salam...
Acik terfikir sejenak... seandainya Ibnu Taimiyah masih hidup lagi dizaman sekarang... apakah sumbangan beliau untuk menghidupkan sunnah?...
acik fosilmitra from Al-Fikrah.net
Waalaikumussalam fosilmitra, mungkin sumbangan beliau untuk menghidupkan sunnah seandainya masih hidup kini ialah dengan menulis kitab2 & berdakwah menyeru insan dgn gigih.
Mungkin beliau akan berpidato supaya mengajak insan kembali kepada sunnah dgn sebenar-benarnya.
Itulah..Moga2 yang baik itu ALLAH redha dan yg xbaik itu ALLAH ampuni dan bimbing kita ke jalan yg slamat..
Subhanallah.. Alhamdulillah.. Allahhuakhbar.
Dalam menilai peperangan Imam Ali ra., Ibnu Taimiyah bertaka:
وَعليٌ قاتَلَ لِيُطاعَ و يَتَصَرّفُ في النفوسِ و الأموال، فكيف يُجعَلُ هذا قتالاً غلى الدينِ؟!
“Ali berperang agar ia dita’ati dan berbuat sekehendaknya terhadap jiwa-jiwa dan harta-harta, lalu bagaimana peperangan seperti itu dijadikan peperangan demi agama?!” (Minhâj as Sunnah,8/329)
kemudian dalam kesempatan lain ia lebih meningkatkan tensi kecamannya atas Imam Ali ra. Yang menghalalkan darh-darah kaum Muslimin dengan tanpa izin Allah dan Rasul-Nya! Membunuh mereka hanya demi kekuasaannya semata! Walaupun seperti kebiasaannya, ia meminjam mulut kaum Nawâshib untuk menghujat Ali dan Syi’ahnya!
Ibnu Taimiyah begitu menikmati ketika menyajikan kecaman kaum Nawâshib, dan terkadang kecaman itu ia yang meramunya hanya saja ia nisbatkan kepada mereka!
Di sini Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kaum Nawâshib berkata kepada kaum Rafidhah: Ali telah menghalalkan darah-darah kaum Muslimin dengan tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya hanya demi kekuasaan, sementara Nabi saw. telah bersabda:
“mencaci maki seorang Muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” Dan “jangan kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.” Maka Ali adalah kafir karena sebab itu! Maka hujjah kalian (Rafidhah) tidak lebih kuat dari hujjah kau Nawâshib…. “(Minhâj as Sunnah,4/499-500)
Ibnu Taimiyah juga membebankan ke pundak Imam Ali ra. Tangung jawab kerusakan dan korban yang banyak dari kalangan umat Islam dalam peparangan tersebut!
Ia berkata:
“Sesungguhnya Ali berperang demi wilayah/kekuasaan, dan karenanya banyak jiwa mati terbunuh. Pada masa kekuasaannya tidak pernah terjadi peperangan melawan kaum kafir tidak juga menaklukkan negeri-negeri mereka! Dan kaum Muslimin tidak semakin membaik… “(Minhâj as Sunnah,6/191)
Peperangan Imam Ali ra. Hanya menambah perpacahan di tengah-tengahnumat Islam! (Minhâj as Sunnah,7/243)
Tulisan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyyah pembenci Imam Ali as (Nashibi)!
Posting Komentar